Catatan Farid Gaban
Ada yang masih bingung membedakan dana publik dari dana privat dalam kaitan dengan umat Islam di Indonesia.
Seperti umat agama lain, orang Islam Indonesia membayar pajak sebagai kewajiban konstitusional. Pajak orang Islam adalah salah satu bentuk partisipasi mereka dalam bernegara seperti yang dilakukan juga oleh umat agama dan kepercayaan lain.
Pajak adalah dana publik. Itu hak negara dan negara layak mengelola dana itu karena merupakan dana publik.
Berdasar konstitusi, pemerintah bahkan punya kewajiban menyantuni orang-orang yang terlalu miskin untuk bisa membayar pajak, yang mayoritas adalah umat Islam dalam konteks Indonesia.
Di luar pajak, umat Islam memiliki sistem pengelolaan dana syariah: infaq, sedekah, wakaf, zakat, dana haji/umrah. Dana itu adalah dana privat umat Islam.
Dana privat tadi semestinya dikelola oleh umat Islam secara mandiri dan berdaulat, tanpa campur tangan negara. Lain halnya, jika kita mau menganggap Indonesia negara Islam.
Mendiskusikan ini lebih jauh, kita akan sampai pada pertanyaan mendasar tentang hubungan negara dengan umat Islam.
Meski pada dasarnya Indonesia negara sekuler (bukan negara agama), pemerintah sendiri cenderung mencampur-adukkan urusan negara dari urusan agama. Dan itu akan menimbulkan konsekuensi yang panjang.
Jika sistem ekonomi dan keuangan syariah sudah dikooptasi sedemikian rupa oleh negara, bolehkah umat Islam menuntut pemerintah menerapkan syariah secara kaffah (menyeluruh) termasuk dalam aspek sosial, politik dan hukum?
Di sisi lain, pertanyaan mendasar untuk umat Islam: relakah konsep syariah mereka hanya dimanfaatkan oleh negara secara parsial?
Menurut saya, umat Islam harus belajar mengelola dana privatnya secara mandiri dan berdaulat, bebas dari campur tangan negara.
Itu bukan berarti umat Islam melawan negara. Kita bisa belajar dari umat lain dalam mengelola dana privatnya.