Senin, Desember 9, 2024

Dunia yang kita kenal bukanlah replika realitas

Must read

#SeninCoaching

#Leadership Growth: Anticipate unknown unknows

Oleh Mohamad Cholid, Practicing Certified Executive and Leadership Coach

“Everyone has ability. It always comes down to mind games. Whoever is more mentally strong—wins.”– Muhammad Ali.

Kapan wabah covid akan berakhir? Setiap pihak akan memiliki prediksinya sendiri, tergantung pada pendekatan mereka – dengan model matematika seperti apa, kepentingan politik siapa, atau ekonomi; atau gabungan di antaranya. Bloomberg punya prediksi sendiri: berdasarkan rata-tata kecepatan vaksinasi saat ini, baru tujuh tahun ke depan wabah covid-19 bakal berakhir.

Menurut kalkulasi sebagian ilmuwan, suatu wilayah diasumsikan akan menghasilkan kekebalan massal setelah 70% — 85% penduduknya disuntik vaksin. Penyuntikan dilakukan dua kali per individu. Bloomberg telah menyusun data orang yang sudah disuntik vaksin di seluruh dunia. Sampai pekan pertama Februari 2021, menurut Bloomberg 119 juta orang sudah ikut vaksinasi.

Beberapa negara di dunia atau suatu negara bagian, di Amerika Serikat misalnya, memiliki kemampuan berbeda dalam menggenapkan 75% warganya divaksin. Israel memiliki laju proses vaksinasi tertinggi di dunia, dalam dua bulan kabarnya akan sanggup memberikan vaksin kepada 75% warganya. Di AS pencapaiannya diperkirakan saat Tahun Baru 2022 – kendati North Dakota diprediksikan bisa enam bulan lebih awal ketimbang Texas.

Prediksi bahwa wabah di seluruh dunia akan berakhir tujuh tahun lagi, tentu dapat berubah. Dalam perjalanannya akan terjadi sejumlah disrupsi. Bisa karena keterlambatan pengiriman vaksin dari pabriknya ke suatu negara, mungkin juga akibat cuaca ekstrem setempat sehingga masyarakat tidak bisa ke pusat vaksinasi. Belum lagi ancaman kelambanan birokrasi dan para pemimpin yang tidak efektif bekerja. Semua itu bisa memperlambat laju vaksinasi suatu wilayah. 

Akselerasi penyuntikan vaksin dapat dimungkinkan, saat produksi vaksin bertambah, setiap negara mampu membelinya, dan para pemimpin bisa lebih efektif menggerakkan para pemangku kepentingan saling mendukung prosesnya.

Apakah Indonesia siap melakukan akselerasi vaksinasi 75% penduduknya, agar mampu berkontribusi mempercepat berakhirnya wabah di seluruh dunia? Menurut The Economist, Indonesia diperkirakan akan selesai vaksinasi 2023 — kurang lebih sama dengan negara-negara ekonomi menengah ke bawah.

Pada situasi sekarang, saat nyaris semua orang gamang melihat leadership vaksinasi belum dapat diandalkan, minimal ada dua hal yang perlu kita camkan setiap akan menentukan langkah penting.

Pertama, setiap prediksi, bahkan oleh para ahli di bidangnya sekalipun, nyaris selalu memiliki kelemahannya. Contoh terdekat terkait ekonomi Indonesia. Menteri Keuangan akhir November mengatakan, ekonomi nasional akan minus 1,7% — malah bisa positif 0,6%. Bank Indonesia memprediksi, 2020 ekonomi minus 1% (Year on Year). Kenyataannya? Badan Pusat Statistik mengumumkan, ekonomi Indonesia 2020 terkontraksi 2,07%.

Daniel Kahneman, psikolog penerima Hadiah Nobel 2002 untuk Economic Science – behavioral economics, hasil kerjasamanya dengan Mendiang Amos Tversky dalam siset dan rintisan mereka menjelaskan tentang judgment dan pengambilan keputusan – sudah mengingatkan, prediksi dipengaruhi atau tidak bebas dari bias. Dalam membuat prediksi dan membuat keputusan bertindak, manusia sering menggunakan intuisi (Thinking, Fast and Slow, 2011).

Belum lagi ditambah faktor lain, yang dapat menyebabkan prediksi meleset. Krisis keuangan 2008 terjadi di luar perkiraan banyak pihak yang berkepentingan, karena para pakar telah menggunakan model matematika lama dalam menelaah rentetan kejadian saat itu untuk membuat prediksi.

Maka, prediksi tentang apa pun – wabah, ekonomi, atau politik – yang dibuat tim ahli, atau lebih dari itu, sepantasnya tidak kita jadikan pegangan satu-satunya dalam proses pengambilan keputusan. Dalam kehidupan pribadi, organisasi, apalagi saat memimpin institusi pemerintahan. Selalu ada wilayah the “unknown unknowns” yang wajib kita waspadai dan tambahkan dalam pertimbangan.

Ungkapan unknown unknowns dikenal sejak Menteri Pertahanan Donald Rumsfeld menyebutkannya pada press briefing di Pentagon, 12 Februari 2002, terkait serangan AS ke Irak akibat informasi lancung tentang senjata pemusnah massal di Irak. “…there are also unknown unknowns—the ones we don’t know we don’t know. And if one looks throughout the history, it tends to be the difficult ones,” kata Donald Rumsfeld.

Kedua, waspadai diri sendiri. Utamanya agar tidak terkecoh, bertindak keliru, akibat keterbatasan pemahaman terhadap kejadian-kejadian yang sudah lewat dan menganggap itu benar, sebagai dasar kita dalam upaya memahami dunia saat ini, lantas merancang masa depan. Perilaku itu bisa menyebabkan seseorang tejebak dalam situasi yang oleh Nassim Taleb disebut narrative fallacy (The Black Swan: The Impact of the Highly Improbable, 2007).

Kecenderungan yang hari ini masih bisa kita lihat di kalangan eksekutif — di organisasi bisnis, nonprofit, dan institusi pemerintah — dalam memutuskan suatu proyek misalnya, adalah menggali data dan fakta yang kira-kira cocok dengan kesimpulan yang sudah ada di benak masing-masing. Apalagi kalau fakta-fakta (lama) tersebut disampaikan lewat penuturan yang elok, menyenangkan.

Anggota tim yang berani mengajak untuk mewaspadai the unknown unknows, bisa dimusuhi. Konsultan yang memberikan perspektif berbeda, blak-blakan tentang realitas yang bisa saja sangat pahit di balik dinamika mereka, dijauhi – karena membuat mereka tidak nyaman. Bagi ahli statistik, perilaku semacam itu mencemaskan.

Kita sungguh perlu lebih awas terhadap diri sendiri, karena dunia yang berhasil direkam benak kita sesungguhnya bukan sepenuhnya replika realitas.

Untuk memastikan bisa melihat realitas yang lebih meyakinkan, para leader atau eksekutif yang bekerja lebih efektif, lazimnya berani memasuki dimensi pemikiran baru, rendah hati melihat perspektif berbeda. Selain umumnya didampingi coach (kadang para coaches) untuk mengembangkan leadership muscles, mereka membiasakan bertanya kepada diri sendiri tanpa rasa takut: “Kontribusi apa yang bisa saya berikan untuk kehidupan?”

Menurut perspektif agama, itu merupakan salah satu cara agar kita terbebas dari “gerhana jiwa”, agar mampu membangun perspektif lebih baik.

Mohamad Cholid adalah Member of Global Coach Group (globalcoachgroup.com) & Head Coach di Next Stage Coaching.

- Advertisement -

More articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -

Latest article