Bitcoin ramai dibahas dalam sepekan terakhir. Pasalnya, pada 8 Februari 2021 lalu, Tesla mengumumkan telah membeli Bitcoin senilai US$ 1,5 miliar.
Perusahaan mobil listrik itu juga menyatakan akan mulai menerima Bitcoin sebagai pembayaran untuk produknya. Elon Musk, pendiri Tesla, memang dikenal sebagai pendukung mata uang kripto. Sekitar dua pekan lalu, Musk menambahkan sebuah tagar, #bitcoin, ke bio Twitter-nya. Langkah itu membuat harga Bitcoin naik 20 persen.
Harga Bitcoin mencapai rekor tertinggi dua hari setelah pengumuman Tesla. Per 10 Februari, nilai mata uang virtual yang diluncurkan pada 2008 itu naik di atas US$ 48 ribu atau sekitar Rp 670 juta, sebelum turun kembali, namun tetap meningkat sekitar 25 persen ketimbang pekan lalu. Hal ini membuat semakin banyak orang mengelu-elukan Bitcoin.
Meski demikian tak sedikit pula yang mengkritik mata uang virtual yang diciptakan oleh seseorang bernama samaran Satoshi Nakamoto tersebut.
Sebelum masuk ke pembahasan dari sisi keamanan, saya ingin terlebih dahulu menjelaskan apa itu Bitcoin. Bitcoin merupakan mata uang digital yang beroperasi secara independen dari pengawasan pihak ketiga, baik bank maupun pemerintah.
Walaupun disebut sebagai mata uang digital, Bitcoin sebenarnya hanya sebuah file komputer yang disimpan dalam dompet digital. Untuk mendapatkan Bitcoin, seseorang bisa membelinya menggunakan uang “nyata”, menjual barang dan menerima pembayaran dengan Bitcoin, serta membuatnya dengan komputer.
Cara yang ketiga ini kerap disebut “menambang”. Pada dasarnya, menambang adalah menjalankan suatu perangkat lunak penghasil Bitcoin. Perangkat lunak tersebut menjalankan sebuah server untuk memecahkan algoritma khusus yang pada akhirnya membuahkan Bitcoin. Namun, semakin lama, algoritma yang mesti dipecahkan semakin sulit, untuk menahan terlalu banyak Bitcoin yang dihasilkan.
Saat ini, untuk mendapatkan 1 Bitcoin saja lewat menambang, dibutuhkan waktu bertahun-tahun. Kita pun bisa menghabiskan lebih banyak uang untuk membayar biaya listrik bagi komputer kita daripada nilai Bitcoin itu sendiri.

Karena itu, saat ini, orang-orang lebih memilih untuk membelinya dengan uang “nyata”. Kita memang bisa saling mengirim Bitcoin lewat sebuah dompet digital.
Pada umumnya, dompet digital itu berisi kunci publik dan kunci pribadi, yang berupa rangkaian panjang angka dan huruf. Kunci publik digunakan untuk menerima Bitcoin. Ini mirip dengan nomor rekening bank.
Sementara kunci pribadi digunakan untuk memverifikasi bahwa Anda memang pemilik Bitcoin yang Anda coba transaksikan. Setiap transaksi itu dicatat dalam daftar yang bisa diakses secara terbuka, yang disebut blockchain.
Lalu, apakah Bitcoin aman? Karena semua transaksi dicatat dalam daftar yang bersifat publik, sangat sulit untuk membuat Bitcoin palsu atau membelanjakan Bitcoin yang tidak Anda miliki. Tapi Anda bisa kehilangan dompet digital Anda atau bahkan menghapus Bitcoin Anda secara tidak sengaja, mengingat bentuknya yang hanya berupa file komputer.
Menurut laporan Hongkiat, protokol Bitcoin mungkin cukup aman. Tapi keamanan ini belum tentuberlaku juga pada dompet digital dan layanan yang digunakan untuk menyimpan serta menukar Bitcoin.
Pada Oktober 2013, layanan dompet digital Bitcoin Inputs.io diretas hingga dua kali. Sebanyak 4.100 Bitcoin, bernilai sekitar US$ 1,2 juta ketika itu, dicuri lewat serangan rekayasa sosial (social engineering). Pada 2014, Mt. Gox, yang ketika itu merupakan salah satu layanan pertukaran
Bitcoin terkemuka, mengajukan perlindungan kebangkrutan setelah kehilangan Bitcoin senilai US$ 468 juta. Mt. Gox mulai jatuh pada awal Februari 2014, ketika bersama layanan pertukaran Bitcoin lainnya seperti BTC-e, membekukan penarikan Bitcoin dengan alasan serangan DoS.
Menurut Ben Power, ahli ilmu politik dari University of Wisconsin-Madison, terdapat sejumlah risiko keamanan mata uang kripto. Risiko pertama adalah kerentanan yang melekat dalam semua sistem yang mencoba menghilangkan kepercayaan pada apa pun kecuali kode komputer.
Mata uang ini dirancang untuk meniadakan kebutuhan penjaga gerbang institusional, seperti bank dan pemerintah, yang berarti tidak ada pihak ketiga yang terpercaya untuk membatalkan kerusakan jika protokol atau alat perangkat lunak lain ternyata memiliki bug. Hal itu bisa memicu hilangnya kepercayaan pada protokol tertentu.
Risiko kedua, menurut Power, adalah ketergantungan pada pertukaran mata uang kripto. Pertukaran memungkinkan pengguna mengubah mata uang digital, seperti Bitcoin, menjadi mata uang fiat, seperti rupiah atau dolar. Namun, pertukaran yang efektif memerlukan regulasi.
Di beberapa negara, mata uang kripto memang sudah diperlakukan sebagai bentuk properti, sehingga pertukarannya diatur oleh lembaga resmi pemerintah.
Tapi, di beberapa tempat lain, pertukaran mata uang kripto diatur dengan sangat longgar, atau bahkan mengabaikan ketentuan yang berlaku. Hal itu memunculkan risiko dalam pertukaran.
Kerentanan lain adalah likuiditas yang dangkal dan ketergantungan pada aset digital buram untuk menopang harga. Ukuran pasar yang kecil membuat mata uang ini sangat rentan terhadap manipulasi Meski kapitalisasi pasar Bitcoin sangat besar, begitu sedikit jumlah Bitcoin yang diperdagangkan, sehingga penjualan sedikit saja bisa menurunkan harga secara signifikan.
“Ekosistem yang sangat bergantung pada keanehan aset buram, yang memperdagangkan likuiditas dangkal yang rentan terhadap manipulasi dan tidak memiliki perlindungan institusional terhadap kecelakaan teknis, tidak aman,” ujar Power.
Faktor terakhir yang disinggung Power tentu menjadi risiko yang perlu diperhatikan oleh pengguna. Sejak diciptakan belasan tahun lalu, nilai Bitcoin memang naik-turun secara signifikan. Hal itu membuat beberapa orang merasa tidak aman untuk mengubah uang “nyata” miliknya menjadi Bitcoin.
Kepala Bank of England, Andrew Bailey, berkata pada Oktober 2020 bahwa investor harus menyadari harga Bitcoin yang sangat tidak stabil ini. Nilai Bitcoin bisa turun secara signifikan setiap saat dan investor bisa kehilangan banyak uang.
Menurut Co-Pierre Georg, Direktur Financial Innovation Lab University of Cape Town, dan Qobolwakhe Dube, kandidat PhD University of Cape Town, dalam artikelnya di The Conversation, tidak ada keraguan bahwa Bitcoin, dan terutama blockchain, teknologi di balik mata uang itu, berpotensi merevolusi industri jasa keuangan.
Blockchain berfungsi sebagai buku besar transaksi ekonomi yang transparan dan tidak dapat diakali. Teknologi ini juga memungkinkan terjadinya pertukaran nilai tanpa perlu adanya perantara.
Tapi, Georg dan Dube mengatakan, betapa pun bermanfaatnya teknologi blockhain, atau seluas apa pun ia bisa diterapkan, ada risiko-risiko nyata dan substansial dalam Bitcoin. Menurut laporan Hongkiat, kurangnya otoritas yang mengatur Bitcoin bisa dilihat sebagai kekuatan, tapi juga kelemahan.
Jika terjadi kerugian, jauh lebih sulit bagi pengguna Bitcoin untuk meminta pertanggungjawaban. Selain itu, karena ekosistem Bitcoin tidak diatur, tidak ada cara untuk memastikan layanannya mematuhi standar kepercayaan dan keamanan.
Banyak iklan yang menjanjikan bahwa Bitcoin bisa membuat Anda cepat kaya. Banyak pula testimoni di media sosial dari teman-teman dekat kita atau bahkan keluarga yang mengglorifikasi Bitcoin.
“Tak ada keraguan, kasus-kasus itu nyata, dan mereka yang berinvestasi awal bisa menuai untung besar. Tapi itulah yang terjadi dalam setiap gelembung. Itu juga terjadi dalam setiap skema piramida. Investor harus sangat waspada dengan skema yang menjanjikan keuntungan cepat,” kata Georg dan Dube.
Nawala ini ditulis oleh Angelina Anjar Sawitri dari Tempo Media Lab.