#SeninCoaching:
#Leadership Growth: Beware of Success Delusion
Mohamad Cholid, Practicing Certified Executive and Leadership Coach
“The wisdom we receive is our gift from the past. The wisdom we share is our gift to the future,” Marshall Goldsmith.
Perjalanan ke Shanghai di musim gugur punya daya pikat khas, kendati sudah beberapa kali ke sana. Mungkin karena saat jalan-jalan ke luar di malam hari mesti mengenakan overcoat dan syal, menahan terpaan angin laut yang dingin, seperti suasana di Eropa. Ataukah sebenarnya Shanghai, kota pelabuhan besar sejak berabad silam itu, memang atraktif untuk kita kenali lebih dalam?
Shanghai menjadi kota besar pertama China yang masuk Top 10 kota paling menarik (appealing city) di dunia, menurut Global Power City Index Desember 2020. Naik dari urutan ke-30 tahun sebelumnya, hasil dari peningkatan enam kategori, yaitu bidang R&D, interaksi budaya, livability, lingkungan, accessibility, plus memperoleh nilai tertinggi dalam penerapan pola kerja fleksibel di masa pandemi covid-19.
Saat musim gugur itu, bersama beberapa direksi organisasi besar yang merintis kerja sama bahan baku farmasi, selain ke Bund kami menyusuri jalan, masuk ke Peace Hotel di distrik yang sama.
The Bund atau Waitan adalah distrik yang diproteksi, mempertahankan pesona gedung-gedung dengan arsitektur Eropa masa sebelum Perang Dunia – waktu itu Shanghai sudah menjadi kota internasional. Di tepi Sungai Huangpu yang lebar itu ada 50-an gedung dengan arsitektur bergaya Gothic, baroque, neoclassical.
Termasuk di antaranya Peace Hotel. Di hotel ini, jauh sebelum pandemi, kita dapat menikmati musik jazz yang dimainkan dengan rancak oleh para musisi gaek yang dulu, di tahun 1940-an — sampai ketika Partai Komunis China (PKC) mengambil alih kekuasaan pada 1949 – mereka juga bermain di sana.
Jazz di café Peace Hotel menyeret ke masa lalu, cerita tentang ketika Shanghai terpilah-pilah. Selain dikuasai para warlords dan militer lokal, beberapa kawasan kota jadi konsesi asing. Inggris, Amerika, Jepang, Rusia, Prancis. Jejak mereka yang masih dapat kita lihat antara lain dalam arsitektur bangunan dan rumah.
Di bawah kekuasaan PKC, setelah reformasi ekonomi, Shanghai sekarang hidup dalam tiga dimensi waktu: masa silam, hari ini, dan berkutat untuk menjemput masa depan, antara lain ingin jadi salah satu pusat keuangan dunia. Barangkali dinamika tarik-menarik kepentingan tiga dimensi waktu tersebut yang menjadikan Shanghai selalu memiliki daya pikat.
Sebuah kota, seperti Shanghai – atau kota-kota lain di dunia yang jadi simpul penting dalam sejarah – bisa menjalani tiga dimensi waktu berbeda, dengan kemegahan, kemelut, wisdom, dan kecemasannya masing-masing. Untuk mengelola kota yang di dalamnya terjadi tarik-menarik kepentingan dari dimensi waktu yang berbeda, lazimnya perlu kepemimpinan yang ekstra kuat.
Apakah manusia bisa seperti kota, menjalani hidup dalam tiga dimensi berbeda? Tampaknya sulit atau dapat menimbulkan kerumitan. Sebuah kota dapat dikelola berdasarkan sistem dan penegakan hukum, untuk menjaga keseimbangan pelbagai kepentingan. Masa lalu sebuah kota bisa dijadikan atraksi, menawarkan kenangan kemegahan suatu periode – seperti kawasan The Bund di Shanghai.
Sedangkan bagi manusia, masa lalu bisa jadi liability, beban, bahkan jika itu merupakan kegemilangan sekalipun. Apalagi kalau selalu diumbar setiap ada peluang interaksi sosial – di café, forum seminar, atau momen lain. Bukankah seseorang dapat kehilangan daya tariknya kalau kelewat sering bicara masa lalu? Lebih runyam lagi kalau itu masa lalu orang lain, aktris, atlet, atau tokoh publik yang tidak nyambung dengan kenyataan hidup kita. Itu memperlihatkan orang tersebut tidak hadir di waktu sekarang.
Dalam sejumlah kasus – barangkali Anda juga selalu ketemu – orang-orang yang senang memuja masa lalu juga cenderung sering berilusi tentang masa depan. Membayangkan hal dan kejadian yang belum tentu terjadi. Punya target (bisnis, jabatan, dan pribadi) tapi ogah-ogahan mengubah mindset, perilaku dan cara kerja yang fit untuk meraihnya.
Kondisi semacam itu yang berkepanjangan berpeluang menimbulkan self-delusion. Situasi bisa gawat kalau pola pikir masa lalu juga dijadikan prisma untuk menginterpretasikan kenyataan hari ini. Perilaku semacam ini bisa jadi penyebab kalangan eksekutif, pejabat publik, dan yang tengah memimpin organisasi dituding sebagai “gagal paham” dalam menyikapi realitas.
Berdasarkan riset dan dalam praktik pengembangan kepemimpinan Marshall Goldsmith Stakeholder Centered Coaching (MGSCC) dan Global Coach Group (GCG), kami menemukan kenyataan, kalangan para eksekutif yang telah bekerja keras dan sukses ternyata banyak yang mengalami dilema serius, disebut success delusion. Tiga keyakinan, dari tiga dimensi berbeda, berhimpit dalam benak mereka. Hidup mereka mampat. Bagi yang tidak mau berubah, pada gagal meraih sukses level berikutnya.
Mereka melakukan sabotase pada diri sendiri dengan membatalkan peluang melakukan perubahan secara konsisten, kata Marshall Goldsmith, coach para eksekutif top di banyak negara di dunia.
Riset membuktikan, orang-orang sukses memiliki tiga keyakinan (basis beliefs). Setiap keyakinan bisa jadi telah membantu kita meraih kegemilangan di masa lalu, namun masing-masing keyakinan tersebut dapat menyulitkan kita meraih goal sekarang dan di masa depan.
Pertama, keyakinan “Aku sukses. Success is my mindset.” Sangat percaya diri, siap mengerahkan daya upaya untuk jadi pemenang dalam kancah kehidupan. Ini positif. Di balik itu? Selalu merasa berperan besar melebihi orang lain dalam keberhasilan organisasi.
Survei terhadap 100 ribu orang di pelbagai tempat di dunia memperlihatkan, 70% merasa sebagai 10% terbaik di antara rekan-rekan kerja mereka dan 82% mengaku masuk top 20. Dampaknya? Mereka menampik pendapat dan saran yang tidak seirama gambaran mereka tentang sukses.
Kedua, “Aku memilih untuk sukses.” Berkomitmen kuat, konsisten (walk the talk). Namun, keteguhan sikapnya bisa jadi ganjalan saat harus berubah. Umumnya mereka bersikap: “Inilah saya. Harus berubah seperti apa?” Takhayul tehadap diri sendiri membuat mereka tidak dapat membedakan antara correlation dan causation.
Ketiga, “Aku akan sukses. Success is my resilience.” Itu diumumkan kepada orang-orang di sekitar. Tangguh dalam menghadapi setiap hambatan, sampai kadang menganggap diri dapat mengendallikan takdir. Orang sukses punya kencenderungan kronis untuk overcommitment.
Merasa mampu bertindak melebihi kompetensi yang dimiliki saat ini. Ditambah perilaku yang maunya menang di semua urusan – saat meeting harus memperlihatkan diri paling pintar, urusan kuliner merasa pilihannya paling dapat diandalkan.
Keinginan kuat untuk berperan aktif dalam menentukan masa depan menyebabkan khilaf tentang kapasitas yang sebenarnya diperlukan untuk merampungkan suatu tugas — merasa tidak perlu lagi berlatih terus mengasah kompetensi.
Keyakinan pertama dan kedua terkait pada masa lalu dan sekarang, sedang yang ketiga berhubungan dengan masa depan.
Anda bisa bayangkan, apa jadinya kalau ketiga keyakinan (berikut plus dan minusnya) dari tiga dimensi waktu berbeda tersebut merasuki benak dan mewarnai perilaku team leader atau pemimpin organisasi? Minimal mereka gagal fokus, bisa kehilangan arah dalam upaya meraih tingkat sukses berikutnya. Energi hidup mereka terkuras untuk melayani ego dan tarik-menarik kepentingan di dalam diri. Dalam kondisi seperti itu mustahil dapat efektif memimpin.
Solusinya? Melakukan perubahan perilaku kepemimpinan, melibatkan para stakeholder, secara terstruktur. Berani melihat realitas diri hari ini apa adanya, rendah hati menerima saran, dan disiplin mengukur perubahan yang dilakukan secara periodik. Ini akan membentuk leadership muscles kita dan melahirkan long lasting change.
Mohamad Cholid adalah Member of Global Coach Group (globalcoachgroup.com) & Head Coach di Next Stage Coaching.
- Certified Executive Coach at Marshall Goldsmith Stakeholder Centered Coaching
- Certified Marshall Goldsmith Global Leadership Assessment
- Alumnus The International Academy for Leadership, Jerman