Catatan Idrus F. Shahab
Ya, ada kehati-hatian yang senantiasa harus dipelihara ketika menuliskan sebuah resensi seni atau buku. Bukan apa-apa. Tak seperti ungkapan lisan, tulisan itu abadi, dan karena itu apa yang kita tuliskan akan menempel terus pada obyek yang bersangkutan. Dari anggapan ini lahirlah tuntutan berat bahwa peresensi bertanggungjawab atas “setiap jengkal” paragraf yang dia katakan dalam tulisannya.
Namun kita tidak bisa mundur lagi sekarang. Perkembangan seni atau perbukuan pasti akan timpang jika tidak didampingi perkembangan kritik atau resensi. Tidak ada waktu lagi, setelah lama membiarkan seni atau perbukuan berjalan sendiri, tibalah saatnya untuk menyertai atau mengawal perkembangan ini.
Mengerikan sekali, setelah kepergian HB Jassin, tiada lagi kritikus sastra Indonesia dengan otoritas sekelas “Paus Sastra” itu di dunia sastra kita. Nasib yang lebih baik tampak di dunia seni rupa, di mana kritikus seperti Jim Supangkat, Agus Dermawan, atau –kemudian—seorang Bambang Budjono kerap mengisi rubrik seni rupa di media mainstream seperti Tempo dan Kompas. Berbeda dengan kerabatnya di bidang sastra dan seni rupa, “kekeringan yang cukup panjang” melanda dunia musik kita semenjak kepergian Pak Suko atau Suka Hardjana, dan Denny Sakrie untuk jenis musik pop.
Satu hal lagi yang juga memprihatinkan dalam perkembangan dunia musik kita adalah absennya kritikus musik dangdut. Padahal dangdut adalah primadona dunia rekaman sejak 1990-an. Di sanalah industri berdenyut dengan dukungan konsumen kelas menengah bawah dan bawah yang luas dan fanatik. Tapi di sana pula, misalnya, tradisi mencontek musik India (plagiasi) berlangsung dari waktu ke waktu. Ya, kalau sudah begini, tidak banyak yang bisa diharapkan dari musik yang sangat dimanja pasar rekaman, namun miskin kritik ini.
Menulis resensi memang tidak sama dengan menulis berita. Dibandingkan dengan tulisan jenis lain, resensi lebih mendekati tulisan opini di mana pendapat atau argumentasi si penulis dikasih tempat istimewa. Kendati, resensi dapat muncul dalam berbagai bentuk tulisan. Ia juga boleh jadi mirip esai, apabila pengalaman pribadi si peresensi ikut memberi warna tulisan. Atau, juga bisa mendekati bentuk feature manakala unsur deskripsi memainkan peran yang cukup dominan di dalam tulisan.
Bukankah deskripsi menjadi tak terhindarkan apabila kita ingin membuktikan betapa sia-sianya suatu aksi panggung melalui sebuah deskspsi yang ketat. Dengan begitu kita bisa mengajak pembaca masuk ke ruang pertunjukan, seraya “menyaksikan sendiri” betapa ceteknya nilai estetika yang berlangsung di atas pentas. Dan dengan pendekatan yang sama, kita juga bisa menunjukan kehebatan satu tokoh memainkan perannya.
Di antara tiga jenis tulisan di atas, memang bentuk opinilah yang paling mengena. Namun, satu hal yang pantas disimak, di antara ketiganya terdapat something in common: pendapat pribadi bukan hanya tidak haram hukumnya, tapi juga sunnah. Jadi, sebaiknya tiap tuliisan opini mengandung evaluasi atau penilaian terhadap obyek yang dibahas. Dengan begitu, bisa disimpulkan bahwa tulisan resensi yang baik itu lebih dari sekedar sinopsis atau deskripsi tanpa evaluasi.
Bagaimana dengan resensi musik? Setiap tulisan resensi menuntut penguasaan pengetahuan dasar yang baik mengenai bidang yang bakal dievaluasi. Dibandingkan dengan seni lainnya, musik yang tidak bisa diraba dan dilihat memang lebih abstrak. Namun dengan sedikit pengetahuan mengenai tangganada, melodi, dan irama, plus wawancara beberapa sumber yang kompeten, resensi suatu pertunjukan musik atau album baru bukan lagi merupakan sesuatu yang mustahil.
Terus terang saja, sesungguhnya beberapa media telah memberikan ruang cukup luas untuk pemberitaan seni dan perbukuan. Namun kontribusi pemberitaan terasa kurang lengkap karena apa yang telah disampaikan kepada pembaca hanya terbatas pada aspek-aspek sosial-ekonomi-bisnis, antusiasime penonton, penjualan album dan seterusnya. Sementara aspek seni dilupakan begitu saja. Mereka menulis berita seni, tapi bukan resensi seni. Kalaupun berbentuk resensi, ia berhenti pada deskripsi.
Seperti kita memberitakan penerbitan sebuah buku tanpa membicarakan isi buku, inilah yang terjadi jika kita kemudian memberitakan konser musik tanpa menyentuh aspek musikalitas. Menyampaikan pameran senirupa tanpa menyinggung aspek visualisasi dan dimensi, atau pementasan sebuah lakon tanpa membicarakan bagaimana aktor dan sutradara menafsirkan sang lakon.
Menulis resensi adalah ikhtiar kecil kita untuk menyehatkan dan membuat kompetisi seni jadi menggairahkan dan menelurkan karya-karya berkualitas. Bersyukur sekali jika usaha ini menjadikan kita kritikus seni –sosok yang sangat diperlukan Indonesia yang tengah membangun peradabannya dewasa ini.