Senin, Desember 9, 2024

Diskresi untuk kita meneruskan proyek Tuhan

Must read

#SeninCoaching

#Lead for Good: Remember, thou art mortal*

Mohamad Cholid, Practicing Certified Executive and Leadership Coach

Pagi itu Matsuyosi Ikira meneruskan menggali lubang perlindungan yang belum rampung. Ayahnya pergi bekerja dan neneknya sedang menengok sawah. Sekitar jam 11 menjelang tengah hari, saat Matsuyosi, 11 tahun, dari dalam bomb shelter mendengar ledakan keras sekali.

“Suara ledakannya dahsyat, saya pikir bumi terbelah dua,” kata Matsuyosi. Selanjutnya gelap, asap bom menutup matahari sampai keesokan hari.

Itu bom atom yang dijatuhkan Amerika Serikat di Nagasaki 9 Agustus 1945, bagian dari Perang Pasifik. Matsuyosi berhasil selamat terlindung di bunker, tapi teman-teman sekolahnya — 1400 orang dari 1500 siswa Sekolah Shiroyama — meninggal. Sekolah Shiroyama berjarak 600 meter dari pusat ledakan.

Gedung sekolah kemudian dijadikan museum, Matsuyosi kuratornya. Sekolah Shiroyama membangun gedung dan sarana baru tidak jauh dari sana. Menurut catatan, bom yang dijatuhkan AS ke Nagasaki dan di Hiroshima total membunuh sekitar 200 ribu orang, kebanyakan warga sipil.

“Saya merasa memiliki kewajiban untuk bertahan hidup,” kata Matsuyosi kepada Joanna Lumley yang mewawancarainya, untuk BBC tayang di Netflix. “Bagaimana pun pedihnya, apa pun kesulitannya, saya harus hidup untuk memberikan pelajaran kepada masyarakat, betapa berharganya hidup damai.”

Matsuyosi Ikira memiliki misi, melanjutkan kehidupan dengan purpose yang jelas. Misi tersebut rupanya telah meningkatkan energi hidup Matsuyosi. Sehingga ia mampu mengatasi pelbagai rintangan dampak bom atom dan tahun-tahun sulit yang dialami masyarakat pasca perang.

Dalam magnitude berbeda, Panglima Soedirman juga bisa jadi contoh tentang pentingnya misi dan life purpose. Kondisi kesehatannya tidak stabil saat memimpin gerilya. Namun, dengan life purpose jelas, demi memastikan kemerdekaan Indonesia diakui dunia, beliau bersama tim berhasil mengatasi sederet kesulitan – menyerang posisi pasukan kolonial, dikejar mereka, menempuh jalur berliku, serta hidup dengan makanan kadang terbatas.    

Setiap orang yang mengaku pemimpin, level supervisor sampai CEO, dari Kepala Desa sampai Menteri Kabinet dan Presiden/Perdana Menteri, hari-hari ini sepantasnya mengecek ulang tujuan hidup, life purpose, masing-masing.

Krisis kepemimpinan akibat pandemi menjangkiti kalangan eksekutif di korporasi dan para kepala kantor jawatan pemerintah, di pelbagai tempat dunia. Kondisi cuaca, bencana alam, beban tugas, serta tekanan sana-sini,  membuat mereka mudah terpeleset bertindak diluar kepantasan, menyimpang, berperilaku tidak berkeadaban – antara lain korupsi, ada juga yang bahkan tega mengutil dana bantuan sosial.

Tim Boyd, Walikota Colorado City, Texas, di tengah badai musim dingin, dalam akun Facebook-nya antara lain menulis, “No one owes you (or) your family anything; nor is the local government’s responsibility to support you during trying times like this. The City and County, along with power providers or any other service owes you NOTHING! I’m sick and tired of people looking for damn handout.” Sesudah mengungkapkan isi benaknya ke publik itu dia mundur.

Kebijakan yang tidak sensitif dan kontroversial, galau menghadapi realitas di masyarakat, juga kadang terlihat di antara pejabat publik di Indonesia. Hanya intensitas dan caranya berbeda. Sampai sekarang belum ada yang nekad seperti Tim Boyd, tidak mau tanggung jawab lantas melengserkan diri.

Menjalankan tugas profesional, tugas politik, tanpa misi, life purpose, cenderung hanya akan melayani “kepentingan daging”, memerosotkan diri ke tingkat serendah-rendahnya mahluk. Sibuk bertikai, kadang lancung, demi jabatan dan kekuasaan. Tanpa menghiraukan para pemangku kepentingan.

Apa jadinya kalau manusia semacam itu memimpim tim, atau mengepalai kantor dagang dengan anggota ribuan kepala keluarga, atau memimpin jawatan pemerintah yang dapat mempengaruhi hidup jutaan orang? Apakah Anda percaya kepada mereka atau membolehkan anggota keluarga Anda jadi bawahan mereka?

Ada kalanya kita juga perlu mengingat Marcus Aurelius, kaisar Roma yang memimpin lebih dari satu juta tentara, dengan kekayaan sangat melimpah. Karena demikian berkuasa, melalui satu jentikan jari dia mudah mendapatkan apa saja yang dia mau. Tapi, apa yang dilakukannya setiap saat – utamanya ketika memasuki wilayah yang ditaklukkan oleh pasukannya?

Marcus Aurelius akan selalu khidmat mendengar bisikan asistennya: “Remember, thou art mortal.” Kekuasaan, kejayaan, dan limpahan kekayaan pada akhirnya tidak berarti sama sekali saat meninggal, demikian kesimpulan Marcus Aurelius setelah merenungkan fakta tentang Alexander the Great yang sama-sama mati bersama kusir keretanya.

Pengingat semacam ini yang sepatutnya selalu kita camkan, di posisi mana pun kita. Karena selama ini kita umumnya, dengan segala daya dan perilaku tidak patut, termasuk membangun narasi untuk memuaskan ego, mengabaikan kematian atau menganggap ajal masih jauh.

Kita memerlukan misi dan life purpose yang gamblang. Selain untuk memperkuat energi hidup mengatasi tantangan keadaan, sepanjang apa pun umur Anda akan jadi bermakna seperti Matsuyosi Ikira (sampai lebih dari 86 tahun) atau lebih dalam lagi seperti Panglima Soedirman (1916 – 1950), mantan guru yang berperan penting dalam memerdekakan bangsanya.

Mungkin benar kalau ada yang mengatakan bahwa manusia di dunia adalah proyek Tuhan yang belum selesai, kita diberi diskresi untuk mengoptimalkan segala potensi yang dianegerahkan-Nya untuk menjadi lebih mampu membangun makna, memberikan positive impact bagi banyak orang.

Mohamad Cholid adalah Member of Global Coach Group (www.globalcoachgroup.com) & Head Coach di Next Stage Coaching.

- Advertisement -

More articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -

Latest article