Oleh Dr. H Ahmad Fahrur Rozi (Wakil ketua PWNU Jatim)
Seperti yang saya duga sebelumnya, isu vaksin astrazeneca najis dan haram karena mengandung babi akan menjadi bola liar yang mudah digoreng pihak tertentu, meskipun juga difatwakan boleh dipakai karena darurat, tetap saja menimbulkan pertanyaan besar dan reaksi negatif di beberapa grup WA dan berpontensi memantik keengganan sebagian orang untuk divaksin, karena timbul salah faham bahwa vaksin ini mengandung unsur daging, darah, kulit atau organ tubuh babi yang lain.
Beruntung PWNU Jatim dengan sigap mengantisipasi kejadian ini dengan langkah nyata, melakukan kajian hukum pada bahtsul masail yang dilaksanakan pada 10 Maret 2021 dan menetapkan hukum halal dan suci serta menyelenggarakan vaksinasi AstraZeneca untuk pengurus PWNU Jatim serta beberapa ponpes di Jombang dan Kediri pada 23 Maret, langkah ini memberi jawaban nyata kepada masyarakat bahwa anggapan miring tentang vaksin itu salah total, dan masyarakat diharapkan tetap patuh menjalani vaksinasi sesuai dengan program pemerintah.
Penulis telah berdiskusi panjang dengan Pak Rizman Budaeri pimpinan perwakilan AstraZeneca Indonesia, Dr. rer. nat. apt. Aluicia Anita Artarini, ahli peneliti virus ITB, tim ahli vaksin Merah Putih yang lulusan S2 dan S3 dari Jerman, dan Dr. Helmi Chandra seorang ahli epidemiolog dari Unair mereka semua menguraikan dengan jelas bahwa tidak ada kandungan babi (tripsim) dalam produk vaksin yang beredar di masyarakat.
Hasil diskusi penulis dengan para ahli virus itu sebagai berikut:
Pertama, yang dimaksudkan bahwa terdapat penggunaan bahan tripsin yang berasal dari pankreas babi dalam proses produksi vaksin adalah dalam proses penyiapan sel inang HEK 293 dilepaskan dari pelat dengan menggunakan enzim-enzim tripsin oleh perusahaan Thermo Fisher, proses ini hanyalah berlangsung dalam waktu sangat singkat dan kemudian sel dicuci dalam medium cair, disentrifulga untuk menghilangkan tripsim sehingga sel tidak rusak, dan ditambahkan kembali medium cair, di sini sudah dibersihkan total sehingga tidak lagi mengandung tripsim sama sekali.
Selanjutnya di CBF Oxford UK sel HEK 293 yang didapat dari Thermo Fisher dilakukan perbanyakan sesuai kebutuhan dengan melepaskan sel pada pelat menggunakan enzym tryple yang di klaim sama sekali bukan dari unsur babi, sebagai salah satu komponen pada media yang digunakan untuk menumbuhkan E.coli dengan tujuan meregenerasi transfeksi plasmid p5713 p-DEST ChAdOx1 nCov-19.
Baru Kemudian selanjutnya virus dipanen dan dimurnikan untuk dicampur dengan air lagi dalam jumlah yang sangat besar dengan bahan untuk siap disuntikkan.
Pihak AstraZeneca mengklaim bahwa semua proses produksi selanjutnya hanya menggunakan unsur non hewani hingga vaksin siap disuntikkan telah bebas unsur tripsim. Alhasil sudah tidak ada lagi unsur tripsim babi dalam vaksin yang disuntikkan ke dalam tubuh manusia.
Tripsim yang disebut di atas bentuknya adalah sangat kecil tak kasat mata dan hanya bisa dilihat melalui mikroskop, tripsin tersebut juga tidak bersentuhan langsung kepada bakteri virus, namun hanya untuk melepaskan inangnya saja karena menempel di pelat padat.
Setelah itu dalam waktu kurang 5 menit tripsin sudah harus dibersihkan dari inangnya agar inang ini tidak mati. selanjutnya inang yang sudah terpisah dari tripsin tadi diisi kode getik atau resep membuat virus dalam jumlah yang sangat sedikit, menurut DR Anita hanya sekitar 10 mililiter untuk dicampur air dan bahan lain yang sangat banyak dan dibiakkan dalam tabung besar berisi air dan bahan lain sekitar 4000 liter .
Kedua, dari sini kita bisa melakukan kajian hukum dari literatur Fiqh Madzhab Syafi’i bahwa proses ini tidak najis, apalagi jika sesudahnya sudah dipisahkan kembali, karena benda najis hanyalah bisa berpengaruh menajiskan air jika dalam jumlah besar dan mengubah sifat air dan ini tidak berlaku untuk sesuatu najis yang tidak bisa dilihat oleh mata:
ﺧﺮﺝ ﺑﻪ ﻏﻴﺮ اﻟﻤﺮﺋﻲ ﺑﻪ، ﻓﺈﻧﻪ ﻻ ﻳﺆﺛﺮ.
ﻭﺇﻥ ﻛﺎﻥ ﺑﻤﻮاﺿﻊ ﻣﺘﻔﺮﻗﺔ، ﻭﻛﺎﻥ ﺑﺤﻴﺚ ﻟﻮ ﺟﻤﻊ ﻟﺮﺅﻱ، ﻭﻛﺎﻥ اﻟﻤﺠﻤﻮﻉ ﻗﻠﻴﻼ ﻭﻟﻮ ﻣﻦ ﻣﻐﻠﻆ ﻭﺑﻔﻌﻠﻪ ﻋﻨﺪ ﻣ ﺭ.
Pengecualiannya adalah najis yang tidak terlihat, maka tidak pengaruh, meskipun ada di beberapa tempat terpisah sekira bila dikumpulkan akan terlihat dan akumulasinya sedikit walaupun dari najis mughallazah (anjing dan babi) dan dengan perbuatan yang disengaja -juga tidak berpengaruh- (lihat Ianah Ath-Thalibin 1/43 atau mughnil Muhtaj 1/ 403).
Hal ini sesuai dengan hadits yang diriwayatkan dari Imam Abu Sa’id al Hudri :
أَنَتَوَضَّأُ مِنْ بِئْرِ بُضَاعَةَ وَهِيَ بِئْرٌ يُطْرَحُ فِيهَا الْحِيَضُ وَلَحْمُ الْكِلَابِ وَالنَّتْنُ؟ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: الْمَاءُ طَهُورٌ لَا يُنَجِّسُهُ شَيْءٌ ” .
“Telah dikatakan kepada Rasulullah, saw: Apakah engkau akan berwudlu dari air sumur budloah yang telah dilemparkan ke dalamnya darah haid, daging anjing dan nanah busuk? Rasulullah menjawab: Air itu murni dan tidak ada yang mencemarkannya.
Ini adalah hadits shahih, yang disahkan oleh oleh Abu Dawud (66), dan Tirmidzi (66) Ahmad (1257 ), seperti tersebut dalam “Iqhat al-Lahfan” (1/156), juga oleh Imam al-Baghawi dalam “Sharh al-Sunna” (2/61), Imam Ibn al-Qattan dalam “Bayan al -ilusi dan al-Ihham “(3/309), dan al-Nawawi dalam” al-Majmu ‘(1/82),
Sedangkan menurut madzhab Maliky dan Hanafi bahwa benda najis akan menjadi suci apabila telah melalui proses istihalah (transformasi) karena syariah menetapkan deskripsi najis berdasar fakta benda tersebut, dan menjadi berubah dengan tidak adanya beberapa bagian darinya atau keseluruhannya.
Sebagaimana misal sperma hewan adalah najis, ketika berubah menjadi gumpalan darah juga najis, menjadi gumpalan daging tetap najis dan ketika berubah menjadi janin hewan lahir adalah suci, dan misal buah anggur adalah suci, ketika ia diperas berubah menjadi khamer adalah najis dan ketika berubah lagi menjadi cuka adalah suci.
Bahkan bangkai babi ketika hancur total di dalam kolam garam maka garamnya tetap suci.
Artinya proses istihalah merubah hukum najis benda menjadi suci. (lihat kitab Al-Bahr Al-Ra’iq, oleh Ibn Nujim, Juz 1, hal.239. / Fath al-Qadir Sharh al-Hidayah oleh al-Kamal ibn al-Hamam Juz 1 hal 139. / Al-Bahr Al-Raiq Juz 1, hal.239. / Al-Dur Al-Mukhtar, syarah Tanwir Al-Ibsar, Juz 1 halaman 291 . / Bada’i Shonai’ juz 1 hal 85-86 dll).
Ketiga, berkenaan Intifa’ atau pemanfaatan najis seperti kotoran hewan , bangkai hewan, babi dan sebagainya. Bahwa telah lama menjadi bahan perdebatan di antara para ulama antara halal dan haram sehingga tidak bisa dipaksakan fatwa wajib ikut madzhab tertentu yang akan mempersulit masyarakat awam.
Sebagai contoh dalam madzhab Hanafi misalnya diperbolehkan penggunaan minyak lemak bangkai, bulu babi diperbolehkan digunakan dalam keadaan kering, dan diperbolehkan pula memanfaatkan anjing karena anjing suci dalam madzhab Hanafi juga dan dibolehkan menggunakan beberapa bagian dari bangkai mati karena bisa disucikan (lihat: Tabyinul Haqoiq (26/6), Bada Al – Sanai: (1/63), (5/57), Albinayah: (1/368, 377), Bahr Al-Ra`iq: (1/106), syarah Fath Al-Qadir: (6/425) )
Menurut hemat penulis dari berbagai ikhtilaf ulama tentang Intifa benda najis pada kasus vaksin AstraZeneca ini seharusnya dipilih pendapat yang membolehkan untuk memanfaatkan benda najis karena ada suatu keperluan.
Karena memang tidak ada dalil qoth’i yang melarang pemanfaatan tersebut dan semua masih dalam ranah khilafiah yang dapat diperdebatkan; bukan ijma ulama.
Hal ini didukung oleh fakta bahwa kaidah Intifa dalam syariah jauh lebih luas dari kaidah akad jual beli, sehingga tidak semua yang haram untuk diperjualbelikan diharamkan untuk digunakan, dan tidak semua jual beli yang dilarang menjadi haram diterima hasil penjualannya, seperti menjual belikan Alquran kepada orang-orang kafir yang diharamkan. Hasil jual anggur kepada pabrik khamar, jual beli pada waktu adzan Jumat dan lain sebagainya.
Perbedaan hukum pemanfaatan ini juga timbul dari ikhtilaf ulama tentang dalil hukum kenajisan sesuatu hewan, seperti hukum najisnya babi dan anjing yang masih diperselisihkan dalam koridor madzhab empat. Kitab Zad al-Ma’ad (5/753). Fath al-Bari (4/425).
Kajian hadist Nabi dan riwayat para sahabat menyatakan bahwa tidak pernah dipersulit dalam urusan makanan, melainkan cukup dengan memakai hukum dzahir, ketika Nabi Muhammad SAW dan sahabat hijrah ke Madinah misalnya beliau memakan makanan yang disuguhkan tanpa bertanya bahan makanan apakah mengandung unsur haram, cukup dengan memandang hal yang dzahir saja, begitu juga para sahabat yang berpencar ke seluruh penjuru dunia juga memudahkan diri dalam soal jual beli makanan di pasaran dengan penduduk setempat.
Nabi Muhammad sendiri diriwayatkan pernah memakan makanan olahan dari negeri pemeluk agama majusi tanpa menanyakan, apakah makanan yang hendak beliau makan itu halal atau tidak.
Dalam kitab syarah hadis berjudul Marqatul Mafatih syarah Misykatul Mashabih karya Imam Mula ‘Ali al-Qari diungkapkan bahwa Imam at-Thabrani meriwayatkan dengan sanad yang jayyid,
أنه عليه الصلاة والسلام أتي بجبنة في غزوة فقال له عليه الصلاة والسلام أين يصنع هذا قال بفارس أي أرض المجوس إذ ذاك فقال عليه الصلاة والسلام ضعوا فيها السكين وكلوا فقيل يا رسول الله نخشى أن يكون ميتة فقال سموا الله وكلوا
Suatu kali, di sebuah peperangan, Rasulullah didatangi seseorang dengan membawa sepotong keju. Rasulullah kemudian bertanya, “Di mana makanan ini dibuat?” orang itu lantas menjawab, “Di negeri Persia”.
Lelaki itu menerangkan makanan itu dibuat di daerah orang Majusi, atau para penyembah api. Lalu Nabi SAW pun bersabda, “Letakkan potong makanan tersebut, lalu makanlah!” Lalu ada yang protes: “Wahai Rasulullah, Kami takut makanan itu dibuat dari bangkai”. Nabi kemudian berkata: “Bacalah basmallah lalu makanlah”.
Dalam kitab Sabilul Huda war Rasyad karya Muhammad ibn Yusuf as-Shalihi as-Syami, ada bab tersendiri mengenai bahwa Nabi Muhammad pernah memakan keju buatan orang Nasrani, dijelaskan dalam Bagian Ketujuh, bahwa Nabi Muhammad memakan keju buatan orang Nasrani.
Imam Musaddad, Abu Dawud, Ibnu Hibban dalam sahihnya, serta al-Baihaqi meriwayatkan dari Ibn ‘Umar Ra bahwa ia berkata: Rasulullah tatkala di Perang Tabuk dibawakan sepotong keju buatan orang Nasrani. Lalu ada yang protes: “Ini makanan buatan orang Nasrani”. Kemudian Nabi meminta pisau lalu menyebut nama Allah dan memotong keju tersebut
Imam at-Thayalisi meriwayatkan dari Ibn ‘Abbas RA bahwa Rasulullah salallahualaihi wasallam tatkala Fathul Makkah melihat sepotong keju. Beliau lalu bertanya: “Ini apa?” “Makanan yang dibuat di daerah non Arab,” jawab orang-orang. Nabi lalu berkata, “Potong dan makanlah.”
Imam Ahmad, Muhammad ibn ‘Umar al-Aslami, al-Baihaqi meriwayatkan bahwa Rasulullah didatangi dengan dibawakan sepotong keju di Perang Tabuk.
Lalu Rasulullah salallahualaihi wasallam bersabda, “Di mana ini dibuat?” mereka menjawab di Persia. Dan kami mengira bahwa ada campuran bangkai di dalamnya. Lalu Nabi berkata: “Makanlah”
Dalam satu riwayat: “Potong, sebut nama Allah, lalu makanlah”.
Hadist-hadist di atas dijadikan pijakan oleh para ulama’ fikih dalam menyikapi makanan-makanan yang diragukan kehalalannya, agar tidak menjadi sulit selama tidak jelas nyata najis.
Imam Ghazali dalam kitab Ihya juga memudahkan hukum perihal keraguan hukum makanan yang terjadi karena beda pendapat di kalangan ulama (Ihya Ulumuddin, juz 2 hal 129).
Kesimpulan dari uraian di atas saat ini kita sedang dalam kasus pandemi Covid-19 yang memerlukan langkah cepat dan tepat bersama pemerintah untuk menanggulangi wabah, sesuai prinsip fiqh taysir dalam syariah Islam yang harus memudahkan masyarakat sesuai tuntunan Rasulullah, sangatlah arif dan bijak jika kita memilih pendapat ulama yang menyatakan bahwa vaksin AstraZeneca adalah suci dan tidak najis, sehingga masyarakat dengan senang hati dan tanpa ragu akan menjadi antusias mengikuti vaksinasi agar segera tercipta herd Immunity untuk dapat hidup normal kembali, kita dapat bebas beribadah dan bekerja membangun bangsa dan negara kita tercinta ini.
Akhirnya mari kita dukung program vaksinasi, Semoga wabah Covid-19 segera lenyap dari dunia dan Bumi Nusantara ini.
Penulis adalah wakil ketua PWNU jawa Timur, Pengasuh Pondok Pesantren Annur Bululawang Malang.