Oleh Seno Gumira Ajidarma – Wartawan
Bagaikan apa yang disebut déjà vu (“seperti sudah tahu”), terbaca kembali gugatan atas kapal-kapal nelayan China yang melanggar perairan teritorial di Laut China Selatan. Berita harian 22 Maret 2021 yang dilansir The Economist, menyebutkan tuntutan Menteri Pertahanan Filipina Delfin Lorenzana, agar China menarik lebih dari 200 kapal nelayan yang melakukan penangkapan ikan liar (illegal fishing) di perairan Filipina. Para nelayan ini juga disebut sebagai milisi maritim.
Istilah milisi maritim ini merupakan ungkapan pihak China sendiri. Setidaknya disebut ketika pada 1974 kapal-kapal penangkap ikan China jenis trawl bersenjata, merebut bagian selatan Kepulauan Paracel dari rezim militer Vietnam Selatan.
Taktik yang sama dilakukan bagi perebutan Gosong Mischief pada 1995 dan Beting Scarborough pada 2012 di perairan Filipina.
Sejak lama kapal-kapal nelayan China telah dipergoki dan ditangkap di Jepang, Filipina, Taiwan, bagian Timur Jauh Rusia, Korea Utara, Korea Selatan, Sri Lanka, Palau, dan Argentina. The Economist edisi 14 April 2016 mencatat, tidak kurang dari dua lusin negeri-negeri Afrika menyerukan, agar China menghentikan penangkapan ikan liar di lepas pantai bagian barat Afrika.
Sebulan sebelumnya, kejadian di Indonesia lebih sensasional: kapal pengawal pantai China membebaskan kapal nelayan China yang sedang digiring kapal patroli RI di perairan Natuna.
Tampak berpola, apakah ini merupakan kebijakan terencana?
Insiden demi insiden
Dalam kasus Natuna, sementara perairan itu jelas berada di wilayah Indonesia, pihak China menyatakan wilayah itu termasuk dalam zona ekonomi eksklusif (EEZ) mereka, karena tercakup di dalam lengkungan “batas sembilan-garis” (“nine-dash lines”). Garis-garis ini digambarkan terletak di lepas pantai Vietnam, Malaysia bagian Borneo, Palawan dan Luzon di Filipina, bahkan sampai Taiwan.
Perairan di dalam sembilan garis yang membentuk U itu, diklaim China sebagai wilayah penangkapan ikan tradisional mereka. Nyaris sudah seluruh perairan Laut China Selatan. Meskipun klaim ini dianggap tidak berdasar hukum laut internasional, dan tidak diakui Konvensi Hukum Laut Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNCLOS), China memiliki dalih lain.
Di Kepulauan Spratly, China telah membangun pulau-pulau buatan, dengan reklamasi gosong-gosong karang, yang masih menjadi sumber klaim tumpang-tindih antara Malaysia, Filipina, dan Vietnam.
Di Kepulauan Paracel, tempat China pernah memenangkan sengketa hukum dengan Filipina, dibangun landasan udara (air strip) di Pulau Woody dekat Hainan. Begitu pula di bekas gosong karang Fiery Cross di bagian selatan Spratly.
Dengan pengandaian reklamasi di Pulau Triton, dan gosong karang Subi, Gaven, Mischief, Selatan Johnson, dan Cuarteron telah selesai, setelah dilengkapi landasan udara, pelabuhan, serta radar militer, terbentuk “segi tiga strategis” yang membuat China dominan di Laut China Selatan.
Hukum laut internasional perihal EEZ, dimanfaatkan China untuk melindungi kesahihan penangkapan ikan para nelayannya sejauh 200 mildari setiap pulau buatan.
Tanpa peduli akan bertumpang tindih dengan batas teritorial 12 mil dari Kepulauan Natuna, maupun bahwa kepemilikan dan kesahihan reklamasinya berada dalam sengketa. Ditambah klaim 5000 tahun pelayaran dan penangkapan ikan tradisional, sebagai “hak sejarah”, lengkap sudah absurditas kebijakan perairan internasional China.
Asosiasi Negara-negara Asia Tenggara (ASEAN) sejak 2002 sebetulnya telah mendesak China duduk bersama, dan menandatangani deklarasi “kode etik” (“code of conduct”) berperilaku di Laut China Selatan, guna meredam konflik sejenis yang telah merebak berpuluh tahun sebelumnya. Insiden demi insiden menunjukkan bahwa China telah mengabaikannya.
Negeri kurang ikan?
Urgensi apakah kiranya yang membuat China berperilaku dan berkebijakan seperti itu? The Economist menunjukkan: China adalah konsumen (dan eksportir) terbesar ikan di dunia.
Konsumsi ikan per orang di China adalah dua kali rata-rata penduduk dunia. Budidaya perairan (aquaculture) China disebut memenuhi kebutuhan ini. Namun angka-angka penangkapan ikan liarnya, pada 2012 misalnya, sungguh spektakuler: 13,9 juta ton, dibanding 5,4 juta ton tangkapan (legal) Indonesia, 5,1 juta ton tangkapan Amerika Serikat (AS), 3,6 juta ton tangkapan Jepang, dan 3,3 juta ton tangkapan India.
Betapapun, penangkapan ikan berlebihan (over fishing) dan polusi di perairan China sendiri telah mencederai perikanan di dekat pantai.
Di Laut China Selatan tersedia 1/10 dari tangkapan ikan global, padahal hanya tersisa 5-30% dari stok yang dimiliki China pada 1950-an. Inilah yang membuat sebagian dari 14 juta nelayan China terdorong—atau didorong—mencari ikan di luar perairannya. Tak kurang dari Presiden China Xi Jinping pada 2013, menyatakan di Hainan, agar para nelayan, “Membangun kapal yang lebih besar, berlayar ke perairan yang lebih jauh, dan menangkap ikan yang lebih besar.”
Didukung pemerintah dengan kapal baru, bahan bakar, dan bantuan navigasi, ternyata dukungan bagi petualangan nelayan ini bagai muslihat yang selalu mengundang kerawanan.
Sebelum kasus Natuna pada 2016, pada 2010 di Laut China Timur sebuah trawler China sengaja menabrak kapal pengawal pantai Jepang di dekat pulau tak berpenghuni Senkaku (nama Jepang) atau Diaoyu (nama China), setelah kepergok menangkap ikan secara ilegal.
Upaya menggeser AS
Adakah modus lain, selain faktor perut 1.443.282.209 penduduknya? Faktor kehadiran militer Amerika Serikat (AS) menjadi dalih.
AS selalu mengajukan prinsip “kebebasan pelayaran” (“freedom of navigation”) untuk mengesahkan kehadiran kapal-kapal induknya di lautan manapun.
Namun meski AS terikat perjanjian militer dengan Filipina, dan unjuk gigi pula dengan latihan militer dan penerbangan pesawat tempur di Laut China Selatan, tidaklah terandaikan suatu konflik militer akan menjadi perlu—meski kemungkinannya selalu terpikirkan.
Kepentingan China sendiri terdengar seperti politik identitas: menegaskan kejayaan, sebagai kompensasi segala dampak Revolusi Kebudayaan 1966-1976.
Dalam Kongres Rakyat Nasional tahunan yang berakhir 11 Maret 2021, Xi Jinping menyatakan, “Kini China sudah bisa menatap mata dunia, tidak seperti di masa lalu ketika kita masih orang udik.” (The Economist, 11 Maret 2021).
Antara lain, ini dilakukan dengan menggugurkan kredibilitas AS, untuk menjadi kekuatan militer yang unggul di bagian barat Pasifik—tanpa harus mengancam AS secara langsung. Dalam bahasa agitasi kantor beritanya, cukuplah dinyatakan bahwa AS, “mengeruhkan perairan” atau “membuat Asia-Pasifik sebagai Timur Tengah kedua”.
Negara-negara ASEAN, yang kedaulatannya terganggu oleh berbagai insiden di Laut China Selatan, tidak dapat memperlihatkan keberpihakan kepada AS, tanpa risiko kehilangan keberuntungan ekonomi.
Disebutkan bahwa AS akan tetap bisa membangun relasi dengan ASEAN melalui Jepang atau Korsel, yang tidak akan mempengaruhi sikap China terhadap ASEAN. Selama China masih membutuhkan ikan dari kolam tetangga, situasi yang sama masih akan terus berulang.