Oleh Yahya Cholil Staquf – Katib Aam PBNU
Bagi sebagian orang, penganiayaan terhadap seorang guru sekolah yang menunjukkan kepada murid-muridnya kartun Nabi Muhammad yang menghina mungkin tampak seperti pertengkaran lokal. Apakah benar-benar penting, banyak orang Inggris akan bertanya, bahwa beberapa lusin pria berkumpul di gerbang sebuah sekolah di West Yorkshire? Pasti tidak lama lagi akan reda, begitulah pikiranku.
Sayangnya, pandangan ini–yang terlalu umum di kalangan pejabat di seluruh dunia barat–sangatlah naif. Bagi kita di dunia Muslim yang bekerja untuk melawan ekstrimisme Islam, apa yang terjadi di Batley Grammar School sangatlah familiar. Apa yang tampak seperti insiden lokal sebenarnya memiliki implikasi nasional dan kesejajaran internasional yang kuat. Itulah mengapa hal itu menarik perhatian kami.
Terutama, bahannya persis sama dengan pertengkaran atas Samuel Paty, guru bahasa Prancis yang menunjukkan gambar yang sama kepada murid-muridnya di kelas pendidikan kewarganegaraan musim gugur lalu, dan kemudian dibunuh secara brutal di jalan. Saya hanya berdoa agar yang terjadi di Batley tidak berakhir dengan kekerasan.
Insiden ini menggambarkan jurang budaya dan politik yang sangat besar yang ada di masyarakat Barat saat ini. Di satu sisi, ada pendukung ideologi sekuler yang kekuatan budaya, ekonomi, dan politiknya mendekati hegemoni di sebagian besar Barat.
Di sisi lain jurang ini berdiri mereka yang menganut nilai-nilai yang lebih tradisional, termasuk banyak orang Kristen, Yahudi Ortodoks, dan Muslim.
Umat beragama dari semua agama sering menemukan nilai dan keyakinan mereka diperlakukan dengan ejekan dan cemoohan, sesuatu yang bisa sangat menyinggung dan menjengkelkan. Namun, beberapa tanggapan Muslim yang salah arah terhadap kenyataan yang menantang dan tidak menguntungkan ini dengan jelas membedakan mereka dari penganut agama lain.
Alih-alih memimpin dengan memberi contoh dan berupaya meningkatkan tingkat wacana global di antara beragam orang, budaya, dan agama di dunia menjadi denominator umum tertinggi, Muslim telah membiarkan Islam dibajak oleh oportunis politik.
Alih-alih menginspirasi pengabdian dan rasa hormat kepada Nabi yang mulia dan agamanya, perilaku kaum Islamis dan kebiasaan mereka melakukan intimidasi dan kekerasan menginspirasi rasa muak, kebencian, dan ketakutan–singkatnya, “Islamofobia”, yang mereka klaim harus dilawan.
Di negara saya sendiri Indonesia, di mana saya adalah Katib Aam Nahdlatul Ulama, organisasi Muslim terbesar di dunia, kami telah melihat kasus serupa dari para Islamis yang mencoba untuk mendikte apa yang boleh dan tidak bisa didiskusikan di ruang kelas–dan bahkan apakah gadis-gadis muda Kristen harus memakai jilbab. Ketidaksepakatan ini, yang dipicu oleh retorika ekstremis dan ruang gaung media sosial, dapat meningkat dengan cepat.
Kaum Islamis tahu betul bagaimana menemukan dan memaksimalkan peluang seperti itu: fakta mana yang harus diabaikan, dan mana yang harus dimanfaatkan.
Bukan hak saya untuk memberi tahu secara langsung seperti apa seharusnya respon kebijakan pemerintah Inggris. Apa pun yang terjadi, penyelidikan independen atas peristiwa di Batley harus membuktikan bahwa ia benar-benar independen dan tidak menyerah pada ancaman kekerasan yang tersirat atas nama kohesi sosial. Kohesi sosial yang sejati muncul dari rasa saling menghormati, yang diperoleh melalui perilaku yang layak dihormati dari orang lain.
Ironi tragis kasus di Batley adalah bahwa, sementara Muslim lokal mungkin percaya bahwa mereka membela Nabi, namun mereka hanya menginspirasi antipati dan ketakutan belaka.
Sebenarnya bentrokan ini hanyalah satu contoh kecil dari masalah yang jauh lebih luas. (Masalah) ini berkaitan langsung dengan kenyataan bahwa Dunia Islam belum menghasilkan suatu kerangka keagamaan dan sosial-politik yang utuh, untuk dijadikan pedoman oleh umat Islam yang berusaha hidup sebagai mukmin sejati sekaligus selaras dengan sarwa rupa kehidupan moderen.
Prancis mungkin adalah pusat dari masalah ini, karena sekularisme merupakan inti dari negara Prancis modern.
Tetapi Inggris juga akan berjuang untuk mengatasi masalah yang hanya bisa diselesaikan apabila umat Islam membangun suatu kerangka yang sah dan mu’tabar secara keagamaan, berlandaskan fiqih, yang memungkinkan mereka untuk hidup berdampingan bersama siapa pun yang berbeda keyakinan sebagai warga yang setara.
Jika tidak, Muslim Eropa, termasuk banyak orang di Inggris, akan terus tertarik pada kelompok yang menolak otoritas negara, yang mengarah ke konfrontasi seperti yang terjadi di luar Batley Grammar School dan intimidasi terhadap pegawai negeri.
Saya berpendapat, situasi ini telah diperburuk oleh perkembangan terbaru dalam wacana politik Barat. Munculnya kembali politik identitas telah menumbuhkan dinamika di mana serangkaian kelompok kaleidoskopik bersikeras bahwa keluhan mereka harus diakui, dan tuntutan mereka dipenuhi, oleh masyarakat luas. Terlalu sering tanggapan resmi atas keluhan ini adalah menanggapinya begitu saja.
Dalam kasus Islam, hal ini telah memungkinkan para oportunis politik untuk mempersenjatai identitas Islam dan menyeret komunitas Muslim ke dalam “perang budaya” yang sangat terpolarisasi dan semakin mematikan yang mengguncang sebagian besar Barat.
Oleh karena itu yang harus dilakukan adalah mengatasi kecenderungan polarisasi dan konflik berbasis identitas ini sebelum terlambat. Karena tren saat kini mengancam untuk mengungkap prestasi unik peradaban Barat, yang turut melahirkan tatanan internasional berbasis aturan yang didirikan atas penghormatan atas persamaan hak dan martabat setiap manusia. Hal itu seharusnya tidak dibiarkan terjadi.
Menurut saya, sebagian solusi harus datang dari dalam Islam itu sendiri. Sangat penting bagi umat Islam untuk belajar beradaptasi dan hidup damai dengan orang lain yang sangat berbeda dari diri mereka sendiri.
Daripada membiarkan para ekstremis mengubah Islam menjadi oposisi modernitas, umat Islam harus terlibat dalam dialog konstruktif yang berupaya menumbuhkan nilai-nilai peradaban bersama yang dapat memperkuat dan meningkatkan tatanan internasional berbasis aturan yang didedikasikan untuk menjaga kedaulatan nasional dan hak asasi manusia yang fundamental.