Thanks for the excellent book.
Mendengar kabar Bang Daniel Fhakidae berpulang seketika ingatan saya melayang ke suatu hari pada tahun lalu. kala itu, pada pertengahan April, saat ada pembatasan kegiatan karena pandemi, kami akhirnya memutuskan memanfaatkan aplikasi video conference untuk mewawancarai Bang Daniel –selain sejumlah narasumber lain– setelah sempat kebingungan bagaimana mengumpulkan bahan untuk sebuah buku yang kami akan kerjakan.
Bang Daniel adalah narasumber pertama yang kami wawancarai. Tidak dalam keadaan sehat benar, Bang Daniel pada siang itu tetap penuh antusiasme, mungkin terutama karena topik yang kami ajukan untuk dibahas adalah tentang indonesia, yang merupakan passion-nya sebagai intelektual.
Selain saya, yang ikut mewawancarai Bang Daniel adalah Mardiyah Chamim, Idrus Shahab dan Yosep Suprayogi.
Berlangsung lebih kurang dua jam, kami bukan saja mendapatkan informasi yang relevan dengan tema buku yang kami akan tulis, melainkan juga wawasan yang lebih baik tentang karut-marut di negeri ini.
Wawasan itu, buat saya, sangat membantu untuk melihat dari sudut pandang yang positif. saya jadi punya dasar untuk memulihkan optimisme, juga kepercayaan, bahwa betapapun arah yang negeri ini sedang tuju terlihat tanpa harapan, masih ada yang bisa dilakukan untuk kebaikan bersama.
Dengan kata lain, apa pun yang bisa kacau sangat boleh jadi memang bakal kejadian, tapi selalu ada prospek yang menimbulkan harapan.
Kami punya bahan berlimpah dari pertemuan itu, tapi tak semua bisa digunakan. Memilih timbunan informasi dan telaah yang ada, seperti pengalaman yang sudah-sudah di newsroom, tempat kami dulu biasa bekerja, cukup pelik.
Dan kami juga harus berusaha sedapatnya untuk merampungkan buku sebaik-baiknya–karena kami sadar ekspektasinya tinggi. Ketika akhirnya bukunya diterbitkan, Bang Daniel menitipkan pesan untuk kami, tim penulis: “Thanks for the excellent book.”
Saya ikut berduka atas kepergian Bang Daniel, intelektual yang tajam pikirannya, tapi rendah hati.
(Purwanto Setiadi)