Surat dari Redaksi (TEMPO)
PADA Juni 1976, Don Bolles, seorang wartawan kawakan koran Arizona Republic di Amerika Serikat, dibunuh dengan keji akibat liputannya. Dia tengah menginvestigasi kejahatan terorganisasi di Arizona ketika mobil Datsun-nya diledakkan di halaman Hotel Clarendon di Phoenix setelah memenuhi janji bertemu dengan seorang narasumber.
Empat bulan selepas insiden itu, sekitar 40 wartawan dari 23 penerbitan lain datang ke Arizona untuk melanjutkan liputan Bolles. Didukung Investigative Reporters and Editors (IRE)—organisasi jurnalis di Amerika Serikat—pada awal 1977, mereka menerbitkan serial panjang tentang berbagai kisah korupsi dan pelanggaran hukum kelompok kejahatan terorganisasi di negara bagian itu. The Arizona Project, demikian kolaborasi itu kemudian dikenal.
Pada 30 Oktober 2017, Laurent Richard, wartawan investigasi di Prancis, mendirikan Forbidden Stories, situs berita yang didedikasikan untuk melanjutkan liputan jurnalis yang menjadi korban kekerasan.
Gagasannya sederhana: semua teror, pemukulan, bahkan pembunuhan terhadap jurnalis umumnya bersumber dari motif utama pelaku, yakni membungkam korbannya. Jika ada sebuah mekanisme yang memastikan liputan seorang wartawan bisa diteruskan, meski dia dipaksa berhenti dengan segala cara, tujuan kekerasan terhadap wartawan itu dengan sendirinya tak tercapai. Richard mengaku pendirian Forbidden Stories diinspirasi The Arizona Project.
Kisah-kisah solidaritas semacam itu membuat kami tak gentar ketika Nurhadi, wartawan Tempo di Surabaya, dipukuli dan disekap sejumlah orang—termasuk polisi—pada Sabtu, 27 Maret lalu.
Ketika itu, Nurhadi tengah berusaha meminta konfirmasi dari bekas Direktur Pemeriksaan dan Penagihan Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, Angin Prayitno Aji. Sejak Komisi Pemberantasan Korupsi menyatakan Angin sebagai tersangka dalam kasus suap pajak sebulan lalu, kami belum berhasil mendapat tanggapan darinya.
Para pelaku penganiayaan itu jelas hendak membungkam Nurhadi. Ketika Nurhadi disudutkan dan diancam dibunuh, para pelaku bermaksud meneror mentalnya agar dia tak melaporkan apa yang terjadi malam itu.
Tapi Nurhadi tak takut. Kami berbicara dengan dia beberapa jam seusai penganiayaan yang ia alami dan tak mendapati kegentaran pada raut wajah ataupun dalam nada suaranya. Seperti kami semua, Nurhadi sadar bahwa dia bekerja untuk kepentingan publik. Kalau dia diam, pelanggaran hukum justru bakal merajalela. Idealisme Nurhadi adalah inspirasi bagi kita semua.
Kini bola berada di tangan kepolisian. Kepala Kepolisian RI Jenderal Listyo Sigit Prabowo berjanji menuntaskan kasus ini. Demikian juga Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan sekaligus Ketua Komisi Kepolisian Nasional, Mahfud Md. Sejumlah pelaku sudah diperiksa, meski ada perwira polisi yang belum dipanggil. Lembaga Bantuan Hukum Pers, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan, Dewan Pers, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, serta barisan panjang organisasi kemasyarakatan sipil lain juga telah memastikan komitmen mereka mengawal penyidikan kasus ini sampai ke meja hijau. Kami berterima kasih untuk solidaritas ini.
Tak sampai sehari setelah insiden Nurhadi tersiar ke seluruh Indonesia, berbagai organisasi wartawan pun bergerak. Dimotori Aliansi Jurnalis Independen (AJI), di berbagai kota ratusan wartawan turun ke jalan, memprotes kekerasan kesekian terhadap reporter. AJI mencatat, sepanjang 2020 saja, terjadi 84 kasus kekerasan serupa. Kasus Nurhadi harus menjadi momentum untuk mengakhiri siklus tersebut.
Selain menuntut pelakunya dihukum, meneruskan liputan investigasi atas berbagai kejahatan yang melatari kekerasan terhadap jurnalis adalah agenda penting yang tak boleh diabaikan. Tanpa itu, serangan terhadap kebebasan pers bakal terus berulang. Kisah Don Bolles dan Forbidden Stories mengajarkan kita: solidaritas dalam kasus kekerasan terhadap jurnalis akan lebih bermakna jika menjelma menjadi liputan bersama untuk mengungkap berbagai pelanggaran yang mencederai kepentingan publik di negeri ini.
Salam,
Wahyu Dhyatmika
Pemimpin Redaksi Majalah Tempo