Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI) Prof Dr Sulistyowati Irianto mengatakan, beberapa tahun belakangan ini marak fenomena kaum intelektual menghamba pada penguasa dan birokrasi. Sulit menemukan kampus yang bisa membebaskan diri dari cengkeraman tersebut. Akibatnya, kata Sulistyowati, akademisi jadi malas dan oportunis. Mereka hanya berpikir jabatan, gaji, dan tidak segan melakukan tindakan tidak terpuji.
“Ilmuwan kita, para dosen secara umum sangat kelihatan mengabdi pada birokrasi sehingga kehilangan daya kritik,” kata Prof Sulistyowati dalam kanal YouTube Bravos Radio Indonesia, Rabu (21/4).
Para dosen ini lanjutnya, tidak tidak berani berdiri kokoh di atas isu-isu kemanusiaan. Juga tidak berani mengkritik agar pemerintahan menjadi bersih meskipun isu itu adalah keahliannya.
“Ada yang ahli perburuhan nggak pernah ngomong soal buruh. Yang paham dan ahli korupsi tetapi nggak pernah menyoroti soal korupsi,” katanya.
Meski ada pengecualian tetapi hanya dilakukan sejumlah kecil orang. Itu pun mereka harus melawan dosen atau akademisi lainnya yang justru berada di sisi pemerintah.
Peraih gelar master dari Universitas Leiden ini juga menyebut ada budaya para dosen yang sangat formalis berlebihan dan hanya mengikuti apa yang digariskan kementerian.
“Padahal sebagai dosen kami menderita sekali karena harus mengisi borang-borang yang katanya BKD, Simlitabmas, Sipeg, belum lagi itu kalau kami mengajar kan mestinya cukup silabus yang dibikin begitu baik, jelas dan detail, tetapi kalau di sini itu harus bikin BRP,” tegasnya.
Mentransfer silabus yang sudah bagus itu ke dalam bahasa-bahasa program yang menurutnya membuat dosen merasa jadi bodoh. “Maaf saya ngomong gitu karena nggak ada orang yang protes soal BRP,” ujarnya.
Sulistyowati juga menilai saat ini dosen orientasinya naik pangkat, bukan pengembangan ilmu. Karena ambisinya itu akhirnya menghalalkan segala cara seperti plagiarisme dan melakukan kecurangan.
“Saya nggak bilang semuanya tetapi ini bisa ditemukan semacam itu,” katanya.
Kemudian menurut Sulistyowati, dosen juga mudah terseret dalam politik praktis. Padahal seharusnya dosen atau cendekiawan sebagai epistemic community itu mengatasi persoalan dengan menggunakan pengetahuan yang berpihak pada kemanusiaan, lingkungan hidup, dan kelestarian.
Namun, kata dia, dalam persoalan yang sama di seberang sana ada juga ilmuwan-ilmuwan dan profesor-profesor yang akhirnya jadi lawan.
“Akhirnya kita (kalangan akademisi) saling bertentangan dengan teman-teman sendiri,” pungkasnya. (esy/jpnn)
Sumber: JPNN