Kamis, Desember 19, 2024

Cerita profesor ngambekan

Must read

Oleh Dimas Supriyanto

Seorang profesor, seorang guru besar universitas, menyatakan mengundurkan diri dan menyerahkan gelar profesornya kepada negara secara dramatis – lalu mempublikasikannya di media massa. Bikin upacara perpisahan dan nyinyir di sejumlah channel Youtube macam ibu ibu di kompleks. Alasannya, dia merasa gagal melaksanakan pendidikan, katanya.

Buat saya, meski jarang terjadi, itu berita biasa saja. Di Indonesia ada 5.664 profesor. Kalau cuma mundur satu tak masalah.

Masalahnya adalah profesor itu merasa gagal mendidik wartawan! Mendidik pers. Dia mengaku gagal sebagai pengajar jurnalistik dan ilmu komunikasi selama 20 tahun lebih.

Pada bagian ini saya tersengat. What?! Kok lebay amat?! Siapa dia?

Dia adalah Effendi Gazali. Lengkapnya
Prof. Drs. Effendi Gazali, M.Si., MPS.ID., Ph.D. Selama ini dia dijuluki pakar komunikasi, sering tampil di TVOne di ILC, penggagas acara “Republik Mimpi” juga.

Selanjutnya saya sebut dia EG saja.

“Sekarang saya mau mengundurkan diri, baik sebagai dosen di UI maupun di Universitas Prof Dr Moestopo Beragama,” kata EG sebagaimana diberitakan Liputan6.com. EG menyerahkan kembali gelar profesor dan guru besar bidang ilmu komunikasi kepada negara dan disampaikannya lewat kanal YouTube Refly Harun.

EG menjelaskan, alasan pengunduran dirinya karena merasa kecewa dengan dunia jurnalistik belakangan ini. “Padahal saya sudah mengajar jurnalistik dan komunikasi amat lama,” tutur EG, awal April 2021 ini.

Memperbaiki kehidupan pers tidak sepotong potong karena pada saat yang sama juga harus memperbaiki semua elemen bangsa.

SEPENDEK pengetahuan saya, sejarah pers Indonesia maju dan terlibat dalam perjuangan serta mendirikan negara ini tidak bergantung kepada sosok akademisi, pakar komunikasi khususnya profesor. Baik satu profesor maupun banyak profesor.

Maju mundur media massa di Indonesia ditentukan oleh pejuang pers. Di antara mereka adalah Adinegoro, H. Rosihan Anwar, Mochtar Lubis, BM Diah dan Herawati Diah, Parada Harahap, Sumanang, PK Ojong, Abdul Azis dan Tuti Azis, Jacob Oetama, Goenawan Mohamad, Pia Alisyahbana, Lukman Umar, Dahlan Iskan, Ishadi Sk, dll. Dan tak ada satu pun bergelar profesor.

Dari mereka lahir ratusan bahkan ribuan wartawan hebat.

Di kampus ibukota ada AM Hutasuhut, pendiri STP dan IISIP. Di UGM Jogya ada Ashadi Siregar yang melahirkan banyak wartawan. Di Akademi Wartawan Surabaya dan Univ Padjajaran banyak dosen publisistik yang melahirkan jurnalis hebat juga. Tak ada yang profesor.

Di pelatihan jurnalis ada Amir Daud, Masmiar Mangiang, dan Prof. DR. Salim Said, dll. (Kalau Salim Said baru belakangan jadi profesornya.pen).

SEKARANG ada satu profesor di usia 54 tahun, yang merasa gagal mendidik wartawan sehingga saya pengin ketawa guling guling.

Memangnya siapa dia?! Emang siapa elu, EG?!

Yang lebih menggelikan dan memalukan gagasan mundur itu bermula dari skandal.

Belum lama ini EG diperiksa KPK terkait kasus bansos. Itu lantaran dia memberi rekomendasi bansos pada UKM. Dan setelahnya EG merasa disudutkan oleh para jurnalis. Di-framing seolah olah dia terlibat kasus bansos – sebagaimana Mensos dan Menteri KKP, bossnya.

EG pun mengaku dikepung puluhan berita/ media yang memuat BAP (Berita Acara Pemeriksaan) palsu atau terperiksanya bohong (sehingga BAP itu harusnya direkualifikasi lalu masuk mesin penghancur kertas). Bahkan, beberapa media yang dilaporkan ke Dewan Pers sudah dinyatakan melanggar Kode Etik Jurnalistik.

Dari sana EG menyatakan, dia mundur dan menanggalkan gelar profesornya – yang didapat dari Universitas Moestopo (Beragama) lantaran merasa gagal mengajar jurnalisme dan komunikasi.

Buat saya merasa dirugikan wartawan itu satu hal. Harus diakui banyak wartawan pemeras, gaya bodrex dan jadi makelar kasus (markus). Penyakit lama. Dan gilanya – seperti diungkapkannya di channel Youtube Ade Armando – wartawan pemeras itu ada di lingkungan KPK. Itu satu kasus. Laporkan saja ke Dewan Pers atau jadikan sebagai kasus hukum di kantor polisi dan pengadilan.

Tapi ketika dia menyebut dirinya merasa “gagal mendidik wartawan” adalah hal lain. Kasus lain. Saya tersinggung. Berat!

Sebagai wartawan, saya – generasi saya maupun sesudahnya – tidak pernah dididik oleh EG dan tak pernah membaca satu pun bukunya. Khususnya yang bermuatan jurnalistik.

Ada buku karya profesor yang saya baca yaitu Janet E. Steele – profesor jurnalisme di sekolah jurnalisme dan penulis di Universitas George Washington. Kebetulan, dia menerbitkan buku tentang koleksi artikel surat kabar dari Indonesia. Dia orang Amerika, bukan Indonesia. Bukan profesor EG.

Sejauh saya menyimak tak ada bukunya EG yang dijadikan pedoman kerja kewartawanan. Di ibukota maupun daerah.

Saya pertaruhkan 38 tahun perjalanan saya di bidang tulis menulis sejak 1982 – untuk meneguhkan keyakinan – yang seyakin yakinnya – bahwa Effendi Gozali tak memberi kontribusi signifikan pada pers dan jurnalisme Indonesia. Bahwa dia pernah menjadi wartawan tabloid olahraga, itu dilakukan juga oleh banyak mahasiswa dan jurnalis otodidak.

Eros Djarot, orang film, musisi pembuat album “Badai Pasti Berlalu”, yang mendirikan tabloid “Detak” jauh lebih nyata di sejarah pers Indonesia dibanding EG yang “cuma” reporter – sorry to say – karena hasil liputan reporter masih harus melewati meja redaktur dan redpel.

Insan pers, awak media, tidak hidup di ruang hampa. Sebagian dari mereka menjadi bejad karena berada di lingkungan bejad. Berkelindan.

Praktisi hukum, agama, sekolah, industri medis, akademisi juga banyak yang bejat. Memperbaiki kehidupan pers tidak sepotong potong karena pada saat yang sama juga harus memperbaiki semua elemen bangsa. Tak terpisahkan.

EG berdalih dia sedang membongkar kasus ekpor bibit benur yang bernilai sepuluh triliun per tahun dan menghadapi mafia yang didukung politisi Senayan dan mengirim awak media untuk merusak integritasnya.

Bahwa dia gagal berhadapan dengan mafia impor itu resikonya. Tapi menyerahkan gelar profesor dan guru besar karena gagalannya kok nampak kekanak kanakan. Halu. Bahkan ada dugaan trik market, cari cari perhatian. Atau menutupi rasa malu.

Sebelum EG kena “framing” dia duluan yang membuat “framing” yang mendeskreditkan sejumlah jurnalis senior.

KONFLIK EG dan media bermula ketika dia ditunjuk menjadi staf ahli Kemaritiman, Kelautan dan Perikanan (KKP) era Edhy Prabowo. Penerus Menteri Susi Pudjiastuti. Tak lama kemudian beredar di media sosial daftar jurnalis kawakan yang diundang jalan jalan KKP era Susi Pudjiastuti, di antaranya Pemred Kompas TV Rosy Silalahi dan Pemred Tempo Wahyu Muryadi.

Dalam daftar itu, nama-nama pimpred media dibagi dalam beberapa kelompok dengan tujuan negara yang berbeda. Di antaranya Amerika Serikat, Prancis, Italy, Jepang, Uni Emirat Arab, Norwegia, Paris, Polandia, Monaco serta, Denmark.

Dalam daftar peserta kunjungan KKP ke luar negeri tersebut diikuti nama jurnalisnya. Selain Kompas, Tempo, juga ada Metro TV, Detik, Kumparan, TVOne dan Jakarta Post, yang lengkap dengan biaya yang nilainya puluhan hingga ratusan juta per orang.

Isu dan frame yang dibangun lewat selebaran itu – Susi ngetop dan jadi “media darling” bukan karena terobosannya melainkan karena banyak ngajak jalan jalan wartawan ke luar negeri!

Belakangan dalam debat di TV One EG mengaku dialah meminta data itu ke humas KKP untuk “penelitian” tapi mengelak menyebarkan dan membocorkannya di medsos.

Intinya sebelum EG kena “framing” dia duluan yang membuat “framing” yang mendeskreditkan sejumlah jurnalis senior. Meski EG sumpah sumpah tidak mengakuinya.

Karma gak pakai lama. Biasa bikin ‘framing’ kena ‘framing’. Lalu ngambek. Merasa gagal. Dan kembalikan gelar profesornya oleh dirinya sendiri.

Tragis dan lucu.

Previous Article
Next Article
- Advertisement -

More articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -

Latest article