(Perspektif Hadis, Fiqh dan Usul al-Fiqh)
Tradisi fiqh itu membuka ruang terjadinya perbedaan pendapat. Saya ingin memberi contoh mengenai puasa 6 hari di bulan Syawal. Mazhab Syafi’i yang dianut secara luas di tanah air menganggap ini puasa sunnah.
Saya ingin sodorkan pendapat lain dari Imam Malik agar kita bisa belajar lintas mazhab dan tidak kagetan mendengar keragaman pendapat ulama. Semakin kita luaskan bacaan kita, semakin kita akan mudah bertoleransi.
Ibn Rusyd dalam Bidayatul Mujtahid menjelaskan:
وأما الست من شوال، فإنه ثبت أن رسول الله – صلى الله عليه وسلم – قال: «من صام رمضان ثم أتبعه ستا من شوال كان كصيام الدهر» إلا أن مالكا كره ذلك، إما مخافة أن يلحق الناس برمضان ما ليس في رمضان، وإما لأنه لعله لم يبلغه الحديث أو لم يصح عنده وهو الأظهر
“Adapun mengenai puasa 6 hari di bulan Syawal telah ditetapkan berdasarkan Hadis Nabi, ‘Siapa yang berpuasa di bulan Ramadhan lalu diikuti dengan 6 hari di bulan Syawal, seperti puasa selamanya.’ Akan tetapi Imam Malik meyatakan ini makruh, baik karena orang akan menganggapnya sebagai bagian dari Ramadhan atau riwayat Hadis di atas tidak sampai pada Imam Malik, atau beliau tampaknya tidak menganggap riwayat itu sahih”
Ada keterangan tambahan dalam kitab Fiqh al-‘Ibadat ‘ala Mazhab Maliki
يكره صوم ست من شوال لمن كان يقتدى به، إن صامها متتابعة ومتصلة بيوم العيد وأظهر صومها لكي لا يعتقد العامة وجوبها، أما إن اختل شرط من هذه الشروط فلا يكره صومها.
Jadi, kemakruhannya itu karena selesai Ramadhan, langsung disambung dengan puasa Syawal, sehingga akan ada yang seolah menganggap sebagai sebuah kewajiban yang berkesinambungan. Tapi kalau puasa Syawalnya tidak langsung selepas Ramadhan, tapi ada jeda dan masih di bulan Syawal maka tidak makruh.
Imam al-Qarafi, salah seorang ulama besar dalam mazhab Maliki, dalam kitab karyanya adz-Dzakhirah (Juz 2 halaman 530) juga menyebutkan alasan yang sama bahwa Imam Malik mengkhawtairkan ada orang bodoh yang menganggap puasa Syawal itu kelanjutan dari puasa Ramadhan.
Apalagi kata puasa dahr atau puasa selamanya dalam hadis di atas bisa dipahami orang awam sebagai puasa terus menerus. Padahal yang dimaksud adalah pahalanya seperti puasa terus menerus. Sampai di sini kita merasakan kehati-hatian Imam Malik.
Syekh Wahbah az-Zuhaili dalam kitabnya al-Fiqhul Islami wa Adilatuhu (jilid 3, halaman 1638) menyebutkan:
كما يكره صوم ستة من شوال إن وصلها بالعيد مظهرا لها، ولا يكره إن فرقها أو أخرها أو صامها سرا، لانتفاء علة اعتقاد الوجوب.
“(Mazhab Maliki) juga memakruhkan puasa 6 hari di bulan Syawal jika nyambung dengan Idul Fitri, tapi kalau dipisahkan atau diakhirkan dengan keyakinan bahwa ini bukan puasa wajib, maka tidak makruh.”
Di atas kita sudah mengutip kitab fiqh, lantas bagaiman kedudukan Hadis puasa Syawal di atas? Bukankah Imam Malik seorang ahli Hadis yang tinggal di Madinah? Mengapa pula Ibn Rusyd menyinggung bahwa kemungkinan riwayat tersebut tidak sampai pada Imam Malik?
Kitab Hadis al-Muwatha’ karya Imam Malik ternyata tidak menyebutkan riwayat di atas. Riwayat itu justru terdapat di kitab Shahih Muslim. Kalau gitu riwayatnya Shahih? Nanti dulu.
Kitab Syarh az-Zarqani yang menguraikan Hadis-hadis di al-Muwatha’ mengatakan bahwa perawi dalam riwayat tersebut yang bernama Sa’d bin Sa’id itu dhaif, menurut Imam Ahmad. Dia tidak kuat, kata Imam an-Nasa’i. Jadi, riwayatnya dianggap bermasalah oleh az-Zarqani. Boleh jadi ini sebabnya Imam Malik tidak mau menerima riwayat ini.
Kita sudah bahas dari sudut kitab fiqh dan hadis. Tapi tetap ada pertanyaan tersisa: Imam Malik itu berpegang pada amal penduduk Madinah. Apa beliau tidak melihat ada tabi’in atau ulama di Madinah saat itu yang mengamalkan puasa sunat di bulan Syawal? Kok beliau sampai memakruhkannya?
Dalam kitab al-Muwatha’ yang dinarasikan oleh Yahya al-Laitsi disebutkan:
قَالَ يَحْيَى : وَسَمِعْتُ مَالِكًا ، يَقُولُ فِي صِيَامِ سِتَّةِ أَيَّامٍ بَعْدَ الْفِطْرِ مِنْ رَمَضَانَ : إِنَّهُ لَمْ يَرَ أَحَدًا مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ وَالْفِقْهِ يَصُومُهَا ، وَلَمْ يَبْلُغْنِي ذَلِكَ عَنْ أَحَدٍ مِنَ السَّلَفِ
وَإِنَّ أَهْلَ الْعِلْمِ يَكْرَهُونَ ذَلِكَ وَيَخَافُونَ بِدْعَتَهُ ، وَأَنْ يُلْحِقَ بِرَمَضَانَ مَا لَيْسَ مِنْهُ أَهْلُ الْجَهَالَةِ وَالْجَفَاءِ لَوْ رَأَوْا فِي ذَلِكَ رُخْصَةً عِنْدَ أَهْلِ الْعِلْمِ وَرَأَوْهُمْ يَعْمَلُونَ ذَلِكَ
“Yahya berkata bahwa dia pernah mendengar Imam Malik mengatakan dalam persoalan puasa 6 hari di bulan Syawal bahwa beliau belum pernah melihat seorangpun dari ulama (ahli ilmu dan fiqh) yang berpuasa, dan tidak juga ulama salaf melakukannya. Para ulama memakruhkannya dan khawatir ini menjadi bid’ah dimana orang awam dan bodoh akan menyambungkan puasa 6 hari di bulan Syawwal itu dengan bilangan Ramadhan karena mereka berpikir bahwa para ulama sudah memberi keringanan melakukannya atau mereka melihat para ulama mengerjakannya.”
Lengkap sudah pembahasan kita dari sisi fiqh, hadis dan ushul al-fiqh. Imam Malik konsisten dengan ketiga perspektif disiplin ilmu yang berbeda. Di atas segalanya, terlihat sekali kehati-hatian Imam Malik dalam berfatwa. Abu ‘Amar mengatakan Imam Malik terkenal kehati-hatiannya dalam perkara ibadah, termasuk dalam soal puasa 6 hari di bulan Syawal ini.
‘Illat atau alasan hukum beliau memakruhkannya sudah dijelaskan di atas yaitu kekhawatiran dianggap ini nyambung dengan puasa Ramadhan. Artinya, jikalau kita paham bahwa puasa Syawal ini bukan bagian dari puasa Ramadhan, dan kita tahu ini bukan sebuah kewajiban, maka ‘illat-nya sudah hilang, dan puasa Syawal tidak lagi makruh dalam pandangan mazhab Maliki.
Wa Allahu a’lam bish-shawab.
Tabik,
Nadirsyah Hosen
Rais Syuriyah PCI Nahdlatul Ulama
Australia – New Zealand dan Dosen Senior Monash Law School