Oleh Idrus F. Shahab
Cinta John Kerry kepada Israel sebenarnya tidak lekas luntur. Mengunjungi negeri itu pada 1986, ia menyimpan baik-baik ingatan mengenai negeri kecil demokratis yang dikelilingi negara-negara Arab yang memusuhinya. Ia terpesona. Ya, Kerry bagian dari politikus Amerika, dari Partai Demokrat dan Republik, yang cinta buta kepada Israel.
Tiga puluh tahun berselang, pada akhir 2016, tepatnya tiga minggu sebelum kariernya sebagai Menteri Luar Negeri Amerika Serikat berakhir, Kerry bersama Presiden Barack Obama didudukkan Israel sebagai pengkhianat cinta. Di antara para diplomat, Kerry berbicara panjang dan lantang, mengeluhkan pemerintah Israel “yang paling ’kanan’ yang dimotori elemen-elemen paling ekstrem dalam sejarah Israel”.
Dalam pidatonya sepanjang 72 menit, ia berbicara layaknya seorang Palestina. Menunjukkan gencarnya Israel membangun permukiman di Tepi Barat dan Yerusalem Timur belakangan, Kerry mempertanyakan kesungguhan Israel berdamai dengan Palestina. Keresahan Israel menjadi-jadi setelah Dewan Keamanan PBB menyetujui Resolusi 2334 yang mengecam pemukiman Yahudi.
Kendati resolusi tak mendatangkan sanksi apa pun bagi Israel, di mata seorang Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan kawan-kawan koalisinya, keengganan Amerika menggunakan hak veto merupakan pengkhianatan dari seorang kakak yang selama ini melindungi adiknya tanpa syarat.
Israel adalah “anak” yang tumbuh dengan veto Amerika Serikat di Dewan Keamanan. Sejak 1970, Amerika telah menggunakan 39 kali veto untuk melindungi Israel dari resolusi Dewan Keamanan PBB yang mengutuk atau mengecam tindakan atau sikapnya yang tak mengindahkan hak asasi orang Palestina.
Kalaupun itu sampai lolos –ini sangat jarang terjadi– Amerika tetap melindungi Israel yang mengabaikan resolusi. Dimanja dengan kondisi ini, Israel menjadi negara yang sukar mendengarkan pendapat yang berbeda dengan kepentingannya.
Sejak Perang Enam Hari pada 1967, Israel menduduki Tepi Barat dan Yerusalem Timur, dua wilayah Palestina yang sekarang menjadi daerah favorit untuk mendirikan permukiman Yahudi. Dalam beberapa tahun terakhir jumlah permukiman di dua wilayah itu meningkat pesat.
Menurut Peace Now, kelompok anti-permukiman Israel, dewasa ini terdapat 385 permukiman Yahudi yang didirikan dengan izin pemerintah Israel dan 97 bangunan atau permukiman “liar” alias tanpa izin resmi. Di Yerusalem Timur saja, kata Peace Now, terdapat 12 permukiman baru dengan sekitar 200 ribu orang pemukim yang hidup dengan senjata api dan pengawalan tentara Israel.
Apa boleh buat, di bawah pemerintah koalisi sayap kanan yang royal memberi subsidi buat para pemukim, tumbuh subur konflik horizontal antara si Palestina dan si Yahudi. Kendati jumlah mereka hanya 5 persen dari total penduduk Israel, pemerintah menyediakan dana tak sedikit buat para pemukim — dua kali lipat dari dana bagi warga Tel Aviv. Dana itu dipakai untuk subsidi rumah, transportasi, dan fasilitas publik lainnya.
Israel, negara paling “demokratis” di Timur Tengah itu sekonyong-konyong menjadi sangat represif terhadap orang-orang Palestina di daerah-daerah pendudukan. Di balik kebijakan-kebijakan Israel, bersemayam politik apartheid yang amat rasialis: berpihak kepada orang Yahudi, tapi amat ‘memusuhi’ orang Palestina. Sebab, itulah cara satu-satunya buat menegakkan kolonialisme di dunia modern.