Kamis, Desember 19, 2024

Palestina

Must read

Oleh Farid Gaban

Pilihan mudah bagi saya kenapa saya mendukung Palestina dari Israel.

Palestina adalah negeri sekuler multi-bangsa dan multi-agama: orang Arab (baik Kristen, Katolik maupun Islam) dan orang Yahudi bisa hidup berdampingan.

Israel adalah negeri agama (pendiriannya didasarkan pada Kitab Perjanjian Lama) dan cuma untuk bangsa Yahudi; artinya rasis dan apartheid.

Tapi, ngomong-ngomong, bagaimana sih sebenarnya asal-muasal konflik Palestina-Israel?

Ini yang saya pelajari dari sejarah: Ide tentang negara Israel muncul di Eropa pada akhir abad ke-19. Itu merupakan reaksi terhadap sentimen anti-Yahudi yang luas, lama dan mendalam di sana.

Oleh orang Kristen dan Katolik Eropa, Yahudi dibenci karena dianggap sebagai pembunuh Yesus (padahal Yesus juga Yahudi). Dalam keseharian dan di media massa, orang Yahudi digambarkan sebagai orang kikir dan licik.

Sentimen rasialis anti-Yahudi itu mendorong Theodhor Herzl, seorang jurnalis dan seniman Yahudi Austria, mendirikan Gerakan Zionis pada 1897. Kaum Zionis mulai menggagas sebuah negeri sendiri. Menurut Herzl, bangsa Yahudi hanya akan survive jika memiliki negeri sendiri.

Di mana negeri akan didirikan? Pada awalnya, Herzl berpikir negara Israel bisa didirikan di lahan kosong, di belantara Afrika (Rhodesia/Zimbabwe) atau di belantara Amazon, Amerika Latin. Dia berharap diaspora Yahudi di Eropa bisa berpindah ke situ.

Tapi, gagasan itu tidak laku. Hanya sedikit diaspora Yahudi Eropa yang tertarik pindah. Dan rencana perlu diubah: Palestina belakangan dipilih karena memiliki dasar agama (“tanah yang dijanjikan” dalam Kitab Perjanjian Lama). Dan kali ini cukup sukses. Orang Yahudi Eropa mulai berdatangan ke Palestina.

Banjir pemukim Yahudi ke Palestina didukung oleh Kolonial Inggris. Pada 1917, Pemerintahan Inggris di bawah Perdana Menteri Arthur James Balfour mengeluarkan “Deklarasi Balfour” yang pada intinya mendukung berdirinya “negara Israel di Palestina”.

(Di sisi lain, Inggris juga menjanjikan kemerdekaan kepada bangsa Arab Palestina jika mau membantunya melawan Turki Usmaniyah dalam Perang Dunia I).

Berbeda dengan di Eropa, di Palestina sebelum Perang Dunia I, orang Yahudi hidup berdampingan damai dengan orang Arab (Islam maupun Kristen). Tapi, konflik Arab vs Yahudi pecah dan meluas setelah kampanye Zionisme yang makin gencar dan “Deklarasi Balfour” diluncurkan.

Sentimen anti-Yahudi di Eropa memuncak pada Perang Dunia II, lewat Holocaust ala Nazi Jerman. Makin banyak orang Yahudi berpindah ke Palestina dan mendesak orang-orang Arab, serta akhirnya memproklamirkan kemerdekaan pada 1948.

Israel menarik makin banyak imigran dari Eropa. Setiap anak-keturunan Yahudi (Eropa) otomatis menjadi warga negara Israel, sementara orang Arab yang hidup berabad-abad di tanahnya belum tentu warga negara dan bahkan digebah dari tanahnya.

“Deklarasi Balfour” adalah titik pemicu sengketa sampai sekarang. Seorang sejawaran menyebutnya sebagai “transfer of hatred”: Inggris memindahkan “masalah Yahudi” dari Eropa ke Timur Tengah; memindahkan kebencian anti-Yahudi dari Eropa ke Timur Tengah.

Itu sebabnya Eropa (dan belakangan Amerika Serikat) sangat getol membela Israel sampai sekarang, sekaligus menjadikan bangsa Arab (baik yang Islam, Kristen maupun Katolik) sebagai tumbalnya.

Bertahun-tahun, Amerika memberi label gerakan kemerdekaan Palestina sebagai teroris. Di sisi lain memberi bantuan keuangan miliaran dolar setiap tahun ke Israel dan membelanya dengan veto di Dewan Keamanan setiap ada resolusi yang merugikan Israel.

- Advertisement -

More articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -

Latest article