Pada masa silam, citra yang muncul ketika menyebut pengusaha kelas UMKM yang terbayang pasti usaha kaki lima yang buka warung di pinggir jalan dengan tenda. Sebab, bunyi undang-undang yang mengatur UMKM, UU Ekonomi Produktif No. 20 tahun 2008, klasifikasi permodalan buat UMKM adalah jika modalnya maksimal Rp 5 juta. Kelas soto Lamongan dan pecel lele.
Tetapi kini, dalam PP No. 7 Tahun 2020, yang dimaksud pengusaha UMKM adalah mereka yang permodalannya ada di kisaran Rp 1 – 5 miliar.
”Nah, kalau kini pengusaha UMKM bisa semakin banyak yang dibikin melek digital dan semua produknya bisa dipasarkan secara online di pasar digital, situasinya bakal berubah. Jangan salah kalau makin banyak pengusaha UMKM yang mlesetin usahanya menjadi ’Usaha Mikro Kecil tapi omzetnya miliaran,” papar Pradikna Yunik Nurhidayati, dosen UGM yang juga aktivis Jaringan Penggiat Literasi Digital (Japelidi).
Yunik mengungkap fenomena tren melek digital di kalangan UMKM saat tampil sebagai pemateri dalam Webinar Literasi Digital yang digelar Kementerian Kominfo RI bersama Debindo untuk wilayah Kabupaten Semarang – Jawa Tengah, 8 Juni lalu.
Yunik tak sendiri. Dimoderatori Triwi Dyatmoko, tampil juga pemateri lain: Leviane JH Lotulung (dosen Ilmu Komunikasi Fisipol Universitas Sam Ratulangi Manado), Muh Bima Januri (Co-founder platform digital baru Lokalin, juga konsultan safety digital dari Kaizen Room Hayuning Sembadra, dan dikunci seorang key opinion leader Michele Wanda yang juga seorang entertainer.
Meski digelar daring, tetapi lebih dari 200 peserta, khususnya kaum muda milenial, kalangan pegawai pemda dan perangkat desa ikut memeriahkan kegiatan ini dengan antusias.
Yunik menambahkan, sejak 1998 peran UMKM justru menjadi tulang punggung utama sumber PDB (Produk Domestik Bruto) kita yang mencapai 60 persen, dan sejak dulu menyerap 97 persen tenaga kerja di Indonesia. Karena itu, di tengah gempuran pandemi Covid-19 keterpurukan yang mengantam pelaku UMKM mesti didongkrak secepatnya guna membantu menyelamatkan perekonomian nasional.
”Salah satu upaya efektifnya adalah dengan membuat pelakunya semakin melek dan cakap digital. Jadi, ketrampilan cakap digital merupakan suatu keharusan yang tidak bisa ditunda lagi,” tegas Yunik.
Apalagi, di mata Michele Wanda, yang lama berkecimpung di dunia belanja digital, pilihan produknya semakin banyak. Juga, toko online yang membantu jual semakin banyak, membuat transaksi semakin cepat direspons dan dikirim, tapi cepat juga dikomplain kalau barang tidak sesuai.
”Jadi, mari segera rebut dan ambil peluang yang makin terbuka lebar di dunia digital. Jadikan ini momentum bagi masyarakat untuk makin cinta produk dalam negeri dengan belanja online produk-produk Indonesia yang kini makin inovatif dan tak kalah kualitas dengan produk asing,” celoteh Wanda penuh antusias.
Lalu, kenapa masih banyak kalangan UMKM yang susah move on dan cenderung jalan di tempat?
Bima Januri mencoba mengurtai jawaban. Kata dia, dari dulu yang telat dilakukan UMKM itu eksekusinya. ”Ide itu murah. Yang amat mahal itu eksekusi ide,” ujarnya.
Banyak pengusaha kecil kita yang memiliki ide-ide brilian, tapi tak juga cepat dieksekusi. Padahal bisa dilakukan dengan langkah sederhana.
”Membuat produk itu kadang murah. Yang menuntut keringat lebih itu memasarkannya. Bisa dimulai dengan memotret dengan hape. Cukup dan langsung pasarkan ke marketplace biar dikenal luas, tapi kadang itu jadi lemot,” tambah Bima.
Bima melihat, ini belum menjadi budaya bisnis pengusaha kecil yang banyak bertahan dengan jualan konvensional. Padahal, pasar sudah cepat berlari. Ikuti dan kejar. Jangan mau ditinggal pasar yang berubah.
”Ayo move on. Kalau bisa segera juga temukan teman terbaik. Temukan mitra pendukung yang cocok dan segera berbagi peran,” ujar Bima Januri, yang tengah merintis platform Lokalin itu.
Di kalangan modal usaha yang di Manado disebut kelas ”cakar bongkar”, yang jualan kerjaan ketrampilan tangan dan jago bongkar pasang, budaya digital belum mengakar. Dalam amatan Leviane Lotulung, jangan bayangkan bisnis digital itu mau langsung sekelas Zalora atau Alibaba. Manfaatkan lokapasar yang gratisan dulu.
”Mulailah dengan bikin status WhatsApp atau iklan marketplace jasa service AC, sedot WC atau layanan gali sumur panggilan. Bisa dipanggil lewat WA. Bukan lewat papan nama di tiang listrik, tapi di FB dan Instagram. Pasti lebih luas pelanggannya. Mulailah dari meng-online-kan yang sederhana. Tapi kalau banyak pelanggan, cuan pun makin berlipat,” ujar Leviane.