Fenomena yang muncul sebagai dampak pandemi, kita tahu, adalah terjadinya lonjakan pemakaian internet. Ini yang membuat masyarakat, mau tidak mau, harus memampukan diri untuk bertransformasi dengan dunia digital yang tanpa batas.
Ada empat ragam kemampuan yang mesti dikuasai untuk bisa berenang di dunia digital dengan cerdas. Yakni, digital skill, digital ethic, digital culture dan digital safety. Keempat alat itu mestinya kita kuasai untuk menjadi tool dalam memperkuat ketahanan budaya kita untuk bisa beradaptasi saat kita berinteraksi dengan dunia digital di masa depan.
“Kita tetap punya tata krama yang sama pentingnya untuk dipatuhi. Ketahanan budaya adalah kemampuan untuk menyesuaikan terhadap perubahan tanpa ikut berubah. Kita bentengi dengan falsafah Jawa: Ngono yo ngono ning ojo ngono (Boleh begitu tapi tak harus begitu). Situasi boleh berubah, tapi tak mesti total berubah ikut perubahan situasi itu.”
Begitu pesan Taty Apriliyana, konsultan digital safety dari Kaizen Room saat membuka paparan webinar yang digelar Kementerian Kominfo RI, bersama Debindo. Bertema “Ketahanan Budaya dalam Transformasi Digital”, webinar dihelat 9 Juni 2021 lalu untuk warga Kabupaten Klaten Jawa Tengah. Webinar disesaki ratusan peserta dari lintas profesi, meski digelar secara daring.
Kita tak bisa mengelak transformasi itu, mengingat kini sudah 170 juta orang Indonesia tiap hari menghabiskan 8,9 jam waktu hariannya bersama gawai. Jujur, di satu sisi memang transformasi ini membuat yang jauh jadi dekat. Kini, bisa mencari data dan literasi dunia tinggal klik dan copy paste. Riset dan bahan bacaan bisa dicari lebih mudah. Tapi juga membuat yang dekat jadi jauh, karena di ruang-ruang keluarga meski dekat fisiknya malah muncul generasi nunduk asyik dengan gawainya, tapi jarang diskusi dengan sesama anggota keluarga.
“Bahkan, dialog di rumah kini lewat gawai. Ini perilaku budaya yang banyak terjadi,” amat Suharti, pengajar dari Universitas Nahdlatul Ulama Yogyakarta. Acara ini seru dimoderatori oleh presenter Zacky Ahmad.
Tidak hanya budaya yang ketahanannya diprediksi bakal mengalami ancaman. Dalam amatan staf ahli komisi ketatanegaraan MPR RI, Nuzran Joher, ke depan peran transformasi digital bahkan bakalan mempengaruhi kehidupan demokrasi kenegaraan kita. “Konten-konten media sosial jelas akan mempengaruhi arah demokrasi kita ke depan dengan memunculkan isu-isu publik aktual yang mempengaruhi kehidupan masyarakat bernegara,” ungkap Nuzran.
Salah satu solusi dan tips agar masyarakat digital tidak terpapar informasi hoaks adalah mesti berusaha merespons kritis dan adaptif. Hadapi berita palsu di internet dengan membiasakan meriset info pembanding. Jangan langsung percaya. Jangan biasakan diri menelan info tanpa membaca info pembanding untuk mendapatkan kebenaran dari berita dari dunia digital.
“Dunia dan Kominfo juga tak hanya memerangi pandemi, tapi juga banjirnya infodemic yang menyerang masyarakat dari dunia maya,” ujar Maryanto, konsultan yang juga aktivis Forum Kerukunan Umat Beragama Klaten, serius.
Lalu, apa peran penting masyarakat untuk ikut memperkuat ketahanan budaya yang tergerus dengan hadirnya transformasi digital saat ini? Jangan terus menyalahkan situasi sosial ekonomi politik yang belum sesuai harapan dengan menebar kebencian lewat dunia digital. Bergabung dan ikutlah terus membanjiri dunia digital dengan konten positif yang bermanfaat.
“Itu jauh lebih berpeluang memperbaiki situasi dampak pandemi. Bukannya malah tanpa sadar menyebar hoaks dengan membiasakan menyebar info digital tanpa saring dan asal saring. Sudahi itu,” pesan penyanyi yang kini aktif sebagai key opinion leader, Rafli Albera. (*)