Penerapan budaya demokrasi di dunia digital tak ubahnya penerapan demokrasi di dunia nyata. Penerapan nilai-nilai demokratis dalam kehidupan warga negara di dunia nyata juga berlaku pada dunia digital maya.
”Budaya demokrasi di dunia digital penerapannya sama dengan demokrasi pada umumnya sebagaimana dalam pemilu, pilkada dan sebagainya,” tutur Hayuning Sumbadra dari Kaizen Room, pada acara Webinar Literasi Digital, gelaran Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kominfo) untuk warga Kota Semarang, Jawa Tengah, Kamis (10/6/2021).
Dimulai pukul 13.00, webinar kali ini mengusung topik ”Transformasi Digital Sama dengan Demokrasi yang Berkualitas.” Tak kurang dari 170 peserta mengikuti acara virtual ini. Mereka berasal dari beragam latar belakang; mulai dari karyawan instansi pemerintah, pengusaha, mahasiswa, pelajar dan masyarakat umum.
Acara yang dipandu oleh moderator Dannys Septiana ini juga menampilkan narasumber lain: Danik Iswandani Witarti (dosen Magister Ilmu Komunkasi Universitas Budi Luhur), Delly Maulana (dosen Universitas Serang Raya), M. Thoboroni (dosen Universitas Borneo), dan Michael Akbar selaku key opinion leader.
Hayuning mengatakan, lebih dari 60 persen masyarakat Indonesia kini telah menggunakan internet. Bahkan, 50 sosialisasi kini berpindah ke dunia digital. Kenyataan itu membuat dunia digital semakin riuh sehingga butuh penerapan aturan nilai etika dalam berdemokrasi.
”Jadi, bisa dibilang, sekarang dunia digital itu sama saja dengan dunia nyata. Apa yang disampaikan di dunia digital juga akan berpengaruh ke dunia nyata,” ujarnya.
Menurut Hayuning, budaya demokrasi dapat bersumber dari pola pikir seseorang agar dapat dihargai. Ia mencatat, setidaknya ada tiga pola pikir sebagai kiat penerapan demokrasi di dunia digital. Pertama, penggunaan etika atau norma saat berinteraksi dengan siapa pun di media sosial layaknya di dunia nyata. Kedua, memastikan unggahan di akun sosmed tidak berunsur SARA. Dan yang ketiga, membiasakan membaca sebelum berkomentar.
Kebebasan berpendapat, lanjut Hayuning, juga memiliki etika dan norma yang harus dijunjung supaya tak bertabrakan dengan hak asasi manusia dalam rangka memperoleh hak kebenaran, keadilan, dan kebahagiaan. ”Intinya, perlakukan orang lain sebagaimana kita ingin diperlakukan,” tegasnya.
Pembicara lain, M. Thoboroni, menyoroti pentingnya kematangan digital dalam konteks kedewasaan berdemokrasi. Ia menekankan bagaimana transformasi digital memberikan peluang-peluang bagi berkembangnya demokratisasi di Indonesia, utamanya pasca reformasi.
Thoboroni menyatakan, di antara isu perkembangan demokrasi, persoalan kebebasan berpendapat menjadi isu yang paling menarik. Isu berikutnya ialah persoalan pemilu. Bagi Thoboroni, isu pemilu yang semakin kompetitif selalu menjadi pokok bahasan yang dinamis sehingga menjadi dialektika politik tersendiri.
Thoboroni juga menyinggung soal bahaya penyebaran hoaks. Hoaks merupakan salah satu fenomena yang muncul dalam konteks demokrasi. Pada tingkat tertentu, maraknya hoaks juga berpotensi mengancam proses demokrasi yang sudah dibangun bersama.
”Masalah utama yang dihadapi bangsa ini ialah banyaknya penyebaran hoaks atau berita palsu. Ada beberapa cara untuk mengenali berita-berita hoaks. Di antaranya, berita hoaks itu ditulis dengan judul sangat bombastis atau sangat hiperbolis, di luar batas-batas standar jurnalistik, ujar Thoboroni.
Di ujung paparannya, Thoboroni mengajak masyarakat pengguna medsos agar tidak terjebak menjadi pelaku, penyebar, apalagi korban hoaks yang banyak menyebar melalui aplikasi dan platform media sosial seperti twitter, facebook, instagram atau grup-grup WhatsApp.
”Literasi digital yang dilakukan siang hari ini bertujuan membantu masyarakat agar memiliki kompetensi dan skill digital, mengembangkan digital safety, dan kiat berselancar di era kebebasan berpendapat dalam koridor transformasi digital yang positif,” pungkasnya.