Sabtu, November 16, 2024

Tiga karakter usia muda di era digital: connected, confident, creative

Must read

Kabupaten Kulonprogo, DI Yogyakarta, Kamis (10/6/2021) mendapat giliran menyelenggarakan webinar literasi digital gelaran Kementerian Kominfo dan Debindo. Dialog virtual tersebut mengusung topik keren ”Peran Pemuda Menyikapi Transformasi Digital”. 

Dimulai pukul 13.00 WIB, webinar ini menghadirkan narasumber: Arif Hidayat (dosen Unnes), Meidine Primalia (Kaizen Room), Lukman Hakim (content writer), Tauchid Komara Yudha (dosen Fisipol UGM), serta Uki (presenter TV nasional) sebagai moderator dan key opinion leader Ranny Rach, presenter TV. Kegiatan ini merupakan bagian dari Program Literasi Digital Nasional: Indonesia Makin Cakap Digital yang telah dicanangkan Presiden Joko Widodo pada 20 Mei 2021 lalu. 

Meidine Primalia dari Kaizen Room memulai presentasinya dengan menyebut Indonesia sebenarnya telah memiliki modal untuk menghadapi era digital. Yakni, jumlah pengguna internet yang telah mencapai 132 juta, pengguna media sosial 106 juta pengguna, mobile subscription 371,4 juta, dan pengguna ponsel aktif 92 juta.

”Dari pengguna digital itu, kalangan usia 25-34 tahun menjadi pengguna terbesar media sosial,” kata Meidine. Pemuda sendiri memiliki tiga karakter yang sesuai dengan sifat media sosial yang berkembang pesat di era digital. ”Tiga karakter usia muda ini, mereka connected, confident dan creative,” kata Meidine.

Lantas, dengan tiga karakter dan sebagai pengguna media sosial terbesar, apa peran pemuda menyikapi transformasi era digital ini? 

Meidine menjelaskan, ada empat hal yang layak diperhatikan terkait peran pemuda. Pertama, peran partisipasi proaktif menyuarakan isu transformasi digital dan disrupsi dari teknologi informasi. Kedua, perlu mengembangkan dan mempersiapkan diri dari dampak perkembangan digital. 

Ketiga, lanjutnya, menanamkan kesadaran diri pada masyarakat luas untuk adaptif dan menerima bahwa transformasi digital merupakan sesuatu yang memang sedang terjadi dan keberadaannya sangat penting.

Keempat, hadir sebagai generasi digital native yang menjadi agen perubahan mewujudkan pemerataan ekosistem digital positif di Indonesia.

Hanya saja, Meidine mewanti-wanti, era digital juga punya sisi gelap. Utamanya terkait keamanan digital (digital safety).

”Di sini dibutuhkan kemampuan individu dalam mengenali, mempolakan, menerapkan, menganalisis, dan meningkatkan tingkat keamanan digital dalam kegiatan sehari-hari untuk konten positif dan tidak merugikan diri sendiri dan orang lain, serta lebih bijak memakai perangkat digital itu,” tuturnya.

Dalam uraian singkat, Meidine Primalia berpesan, dalam era digital ada hal mendasar yang perlu dipahami. Yakni, bermainlah dengan aman. Belajarlah dengan aman dan tetaplah aman. 

Meidine meminta pengguna layanan perlu tangkas menghadapi layanan internet. Prinsip tangkas berinternet ini meliputi sejumlah hal.

Pertama, cerdas berinternet. Yakni, hati-hati berbagi dan berkomunikasi secara bertanggungjawab. Kedua, jangan mudah tertipu, sehingga pengguna mesti cermat. Ketiga, tangguh berinternet, yakni menjaga rahasia privasi dan publik, buat sandi yang tangguh. Keempat, bijaksana saat berinternet; dan kelima, berani berinternet, tanya kalau ragu.

”Tangkal kejahatan digital dalam empat tips bernama JAGA,” lanjut Meidine. JAGA yang dimaksud adalah kependekan dari Jangan asal transfer uang ke siapa pun, Amankan data pribadi (OTP, nomor kartu ATM/debit/kredit/PIN, dll.) lalu Gunakan identifikasi dan Adukan hal yang mencurigakan.

Di sesi yang lain, dosen Fisipol UGM Tauchid Komara Yudha mengatakan, setidaknya ada sejumlah kompetensi digital yang seharusnya dimiliki para pengguna di era digital. Kompetensi itu adalah mengakses- mendistribusikan, menyeleksi-memproduksi, memahami-berpartisipasi, menganalisis-berkolaborasi, menganalisis-etika digital.

”Namun, pengguna juga harus memiliki dalam dirinya digital soft skills untuk menjadi kritis (being critical). Yakni dengan menganalisa sumber informasi melalui tiga komponen: siapa pembuat informasi, apa tujuan dari informasi yang ditampilkan, dan bagaimana pesan itu dibangun,” kata dia.

Tauchid tidak menampik satu kondisi yang menyebut bahwa saat ini masyarakat kita memiliki literasi digital yang rendah, namun sekaligus memiliki emosi yang tinggi. ”Patut diingat, demokrasi tidak berarti bebas bicara semaunya, termasuk pada ruang digital,” jelas Tauchid.

- Advertisement -

More articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -

Latest article