Seiring dengan perkembangan teknologi internet, kehidupan sosial semakin dipermudah. Di samping banyak hal positif yang diberikan, banyak pula dampak negatif dari dunia digital. Salah satu yang dapat terjadi ialah pelecehan seksual (sexual harrashment) online. Bentuknya bisa bermacam-macam, seperti human trafficking, malicious distribution, revenge porn, doxing, dan lain-lain.
Catatan tahunan (CATAHU) Komisi Nasional Perempuan pada 2020 melaporkan, ada 281 kasus KBGO (Kekerasan Berbasis Gender Online) sepanjang 2019. Diperparah selama pandemi Covid-19, di mana terjadi peningkatan kasus KBGO. ”Sebanyak 95 persen kasusnya menyasar perempuan. Bisa berupa perilaku agresif, pelecehan, penggunaan kata-kata kasar,” kata Budi Wulandari dalam Webinar Literasi Digital untuk wilayah Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah, Kamis (10/6/2021).
Sebagai informasi, CATAHU 2020 merupakan catatan pendokumentasian berbagai kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan dan ditangani oleh berbagai lembaga negara, lembaga layanan maupun yang dilaporkan ke Komnas Perempuan sepanjang tahun 2019.
Pelecehan seksual dapat terjadi kapan saja dan di mana saja. Bahkan, hal tersebut dapat terjadi secara tiba-tiba dalam dunia maya tanpa kita prediksi sebelumnya. ”Korban pelecehan seksual yang paling sering terjadi adalah perempuan,” ujarnya.
Menurut Budi Wulandari, temuan khusus sexual harrashment di dunia digital tersebut perlu mendapatkan perhatian serius dari pemerintah. ”Kekerasan berbasis gender online ini motivasinya bermacam-macam. Bisa ajang balas dendam, cemburu, agenda politik, hasrat seksual atau kebutuhan keuangan,” jelasnya.
Kekerasan berbasis gender online, lanjut Wulandari, tujuannya menyakiti psikologis dan fisik, juga bentuk perilaku pelaku KBGO seperti stalking medsos, pelecehan seksual, eksploitasi dan ujaran kebencian. ”Dampak korban kekerasan seksual berbasis online ini tidak main-main. Gangguan kognitif, gangguan relasi personal, terganggunya kehidupan sosial pasca peristiwa, bahkan korban bisa menjadi pelaku di masa datang,” tambahnya.
Kata Wulandari, fenomenanya menyerupai gunung es. Yakni ketika sebuah foto atau video dan hal yang berkaitan dokumentasi pribadi telanjur disebar dan diunggah oleh orang yang tidak bertanggung jawab. ”Ketika hal itu menjadi sebuah ancaman, kita bisa melakukan penuntutan hak untuk memperoleh keadilan,” ujarnya.
Lantas bagaimana bentuk penanganan korban sexual harrasment di dunia digital? Budi Wulandari membeberkan tiga cara, yakni: menyimpan barang bukti, memutus komunikasi dengan pelaku, dan melakukan pemetaan risiko.
Ia menjelaskan lebih detail ketiga cara tersebut. Lakukan screenshoot ancaman dari pelaku, simpan link tautan postingan atau tautan. Yang dimaksud memutus komunikasi dengan pelaku adalah memblokir pelaku dan melakukan deaktivasi akun digital untuk sementara waktu atau permanen. Sedangkan pemetaan risiko yang dimaksud adalah apa yang menjadi kekhawatiran utama dalam menghadapi ancaman penyebaran konten tersebut.
Selain diisi Budi Wulandari yang juga peneliti dan konselor psikologi, webinar literasi digital di Grobogan menghadirkan tiga narasumber lain: Tri Yuniningsih (dosen FISIP Undip), Ahmad Nasir (director of DOT Studios), dan Taty Aprilyana (Kaizen Room). Webinar dipandu Nadia Intan dengan Muhammad Youda sebagai key opinion leader.
Selain di Kabupaten Grobogan, Kementerian Kominfo juga menyelenggarakan rangkaian kegiatan webinar literasi digital di semua kabupaten/kota di 34 provinsi Indonesia. Program Indonesia Makin Cakap Digital ini dilaksanakan serentak sejak akhir Mei lalu hingga Desember 2021. Kegiatan ini bertujuan mendukung percepatan transformasi digital agar masyarakat semakin cakap digital dalam memanfaatkan internet untuk menunjang kemajuan bangsa.