Rabu, November 20, 2024

Gaul di dunia maya, bagaimana etika mesti ditegakkan?

Must read

Bagaimana sebaiknya etika ditegakkan di ruang digital? Inilah pertanyaan yang kembali muncul dan menjadi bahasan menarik saat Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) bersama Debindo menggelar webinar literasi digital untuk masyarakat Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah, 8 Juni lalu.

Mengusung topik ”Menegakkan Etika dalam Pergaulan di Dunia Maya”, webinar yang dipandu Nadia Intan selaku moderator ini menghadirkan empat pembicara. Mereka adalah Irfan Afifi (founder Langgar.co), Arif Hidayat (dosen Fakultas Hukum Unnes), Septa Dinata (peneliti Paramadina Public Policy Institute), Zahid Asmara (seorang pembuat film), serta Shafinaz Nachiar, news anchor TV nasional yang bertindak sebagai key opinion leader.

Topik seputar etika di dunia maya tentu tidak lepas dari perkembangan komunikasi digital yang memiliki karakteristik komunikasi global. Ia melintasi batas-batas geografis dan batas-batas budaya. Sementara, setiap batas geografis dan budaya juga memiliki batasan etika yang berbeda.

Setiap negara, bahkan daerah, memiliki etika sendiri. Begitu pula setiap generasi memiliki etika sendiri. Dalam modul Etis Bermedia Digital misalnya, dicontohkan soal privasi. Masyarakat kolektif seperti masyarakat Indonesia merasa tidak masalah bercerita tentang penyakit yang diderita di media sosial, atau menunjukkan kehangatan suatu hubungan di media sosial. Tetapi belum tentu hal itu dirasakan nyaman oleh masyarakat individualistik.

Para orangtua bisa saja merasa biasa, bahkan bangga, bercerita tentang anak-anaknya. Namun belum tentu anak-anaknya nyaman dengan kisah yang diceritakan oleh orangtuanya di media sosial. Begitu juga interaksi digital antargender, dan antargolongan sosial lainnya.

Semua akan memunculkan persoalan-persoalan etika. Artinya, dalam ruang digital kita akan berinteraksi, dan berkomunikasi dengan berbagai perbedaan kultural tersebut, sehingga sangat mungkin pertemuan secara global tersebut akan menciptakan standar baru tentang etika.

Irfan Afifi dalam paparannya mengatakan, dunia digital sebagai realitas baru yang tak terhindarkan hari ini, telah menyerap kita semua ke dunia maya yang berada di luar diri kita. ”Sehingga, tanpa kita sadari, hal itu telah mendistorsi nilai-nilai kemanusiaan kita,” ujarnya.

Itu sebabnya, Irfan mewanti-wanti agar kita semestinya mengenali diri sendiri terlebih dahulu sebelum masuk ke dunia maya. Irfan berpendapat, etika di dunia maya bisa ditegakkan ketika manusia mampu mengetahui secara utuh nilai-nilai kemanusiaan yang ada di dalam dirinya, kemudian memahami bagaimana logika dunia maya bekerja.

”Proses kebudayaan sebagai olah kemanusiaan membantu kita menjadi masyarakat yang literated, untuk kemudian mampu mengambil jarak dengan realitas digital,” ujar Irfan.

Pertanyaannya kemudian, bagaimana bermedia sosial secara berkebudayaan? Menurut Irfan Afifi, ketika pergaulan di dunia maya bisa ditegakkan manakala kita mampu mengenali, mengolah, dan bersikap terhadap ruang digital untuk menempatkannya di bawah kendali kita. ”Bukan kita yang justru dikendalikan,” tegas Irfan.

Pada sesi berikut, narasumber-narasumber yang lain mengajak peserta webinar untuk membahas lebih jauh perihal etika dalam pergaulan digital. Di antaranya terkait Network Etiquette (netiquette); pengetahuan dasar mengenai informasi yang mengandung hoaks, ujaran kebencian, pornografi, perundungan, dan konten negatif lainnya

Materi lain yakni pengetahuan dasar berinteraksi, partisipasi dan kolaborasi di ruang digital, sesuai dengan kaidah etika digital dan peraturan yang berlaku; serta pengetahuan dasar berinteraksi dan bertransaksi secara elektronik di ruang digital, juga sesuai peraturan yang berlaku.

- Advertisement -

More articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -

Latest article