Rabu, November 20, 2024

Memutus rantai hoaks di media sosial

Must read

Tema besarnya ”Antisipasi Distorsi Informasi sebagai Ekses Transformasi Digital”. Namun, pembahasan menarik dalam webinar literasi digital yang digelar Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) untuk masyarakat Kabupaten Banjarnegara 11 Juni lalu, utamanya mengerucut ke soal bagaimana memutus mata rantai hoaks di media sosial.

Seperti biasa, ada empat narasumber yang tampil dalam webinar yang dipandu moderator Fikri Hadil. Mereka adalah Tomy Widiatno (pekerja dan pengembang program media/seni), Ragil Triatmojo (JP Nusa), Krisno Wibowo (pemimpin redaksi Swarakampus.co), Khuriyatul Husna (dosen Universitas Lancang Kuning Riau), serta Marlyandri yang bertindak selaku key opinion leader.

Mengawali paparannya, Ragil Triatmojo melontarkan definisi hoaks sebagai salah satu bentuk distorsi di ruang digital, yakni: suatu informasi atau berita yang tidak benar yang dibuat seolah-olah benar sehingga dipercaya oleh orang lain. ”Hoaks jenisnya macam-macam, di antaranya satire atau parodi, konten menyesatkan, konten palsu, konten yang salah, dan konten yang dimanipulasi,” ujarnya.

Sejauh ini, menurut Ragil, berita berkategori hoaks gampang dikenal dengan beberapa ciri. Di antaranya: menggunakan judul berita yang spektakuler, menggunakan unsur mencocok-cocokkan atau ”Cocokologi”, menggunakan alamat website yang mirip dengan media besar, dan tidak mencantumkan nama penulis artikel.

Lantas, bagaimana cara menyikapi berita hoaks? Ragil Triatmojo mengajukan tiga ”jurus” yang mesti dilakukan. Pertama, membaca terlebih dahulu keseluruhan berita dan judul. Sebab, banyak berita atau artikel kategori click bait. Selain itu, ada kemungkinan ilustrasi tidak sama dengan isi. Dan, perhatikan tanggal posting. ”Banyak peristiwa dan berita yang terjadi pada masa lalu yang ditayang ulang seolah peristiwa baru,” tuturnya.

Jurus kedua, amati identitas penulis atau sumber informasi. ”Kita wajib curiga apabila artikel atau berita tidak mencantumkan sumber. Kalau tidak ada sumber, coba tanyakan kepada orang yang menyebarkan informasi tersebut,” lanjut Ragil.

Ketiga, cari rekam jejak digital penulis atau sumbernya. Caranya? Amati postingan atau artikel lain yang dibuat, wajib waspada jika tidak ada jejak digital, dan amati respons atau komentar – jikalau ada. ”Sesudah itu, bandingkan dengan sumber lain untuk cek data. Misal, cari ulang judulnya ke Google. Lalu, wajib waspada jika tidak ada kesamaan dengan berita atau artikel lain,” kata Ragil.

Di pengunjung paparan, Ragil Triatmojo mewanti-wakti peserta webinar untuk selalu ingat bahwa tidak semua informasi yang ada di internet dan media sosial itu benar. ”Dan ingat, menyebarkan berita yang belum jelas kebenarannya sama berdosanya dengan menyebarkan fitnah,” tegasnya.

Di sesi berikut, Krisno Wibowo membahas mengenai fakta bahwa media digital portal maupun media sosial rentan terhadap terjadinya penyesatan informasi, bias informasi, hoaks, ujaran kebencian, fitnah, adu domba, karena berbagai faktor. Bisa karena pertimbangan yang bersifat pragmatis-personal, ekonomi, politik, maupun ideologis.

Karena itu, Krisno menyarankan untuk mencermati beberapa hal. Pertama, aspek keberimbangan (balancing) pada media portal. ”Karena karakternya berorientasi pada kecepatan update informasi (speed), seringkali mengabaikan konfirmasi dan akurasi data,” ujarnya.

Kedua, aspek objektivitas. Yakni, tergerusnya independensi media portal karena terjebak menjadi partisan atau mengikuti kepentingan ekonomi-politik pemilik perusahaan media. Ketiga, aspek sensasional-bombastis. ”Karena ’teror pasar’, mereka menjual konten-konten pornografi, kekerasan-sadistis, dan lain-lain,” kata Krisno.

Krisno menambahkan, bias informasi juga terjadi di media sosial. Informasi sering mudah dipercaya kebenarannya karena telah di-share, dikirimkan oleh banyak orang. Padahal, bisa jadi, informasi itu hoaks belaka. ”Masyarakat seringkali menilai kebenaran informasi berdasar siapa yang membagikan, ketokohannya, berapa banyak likes, komentar dan share,  tanpa memverifikasi lebih jauh faktanya,” ujarnya.

Terkait itu, Krisno menegaskan perlunya membangun sikap kritis. Perlu kecermatan dan daya kritis menyerap informasi di media digital: cek judul, akurasi data/fakta, objektivitas dan keberimbangan konten, etika bermedia, sumber informasi, dan independensi institusi media. ”Jika muatan informasi di media digital diragukan kebenarannya, komparasikan kontennya dengan media yang dikenal punya branding kredibel, independen, punya rekam jejak terpercaya,” pesan Krisno, menutup paparan.

- Advertisement -

More articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -

Latest article