Jenis informasi apa yang ingin kita temukan tentang diri kita secara daring dalam 10 tahun mendatang?
Kepala Pusat Publikasi LPSR Institute Xenia Angelica Wijayanto mengajak berpikir kembali dengan cara bertanya kepada peserta webinar tentang masa 10 tahun mendatang. Pertanyaan itu sejatinya sebuah peringatan bahwa seluruh aktivitas kita di media sosial selalu meninggalkan rekam jejak digital.
”Salah satu ancaman terbesar bagi kaum muda di situs media sosial adalah jejak digital dan masa depan mereka. Tidak hanya kaum muda, tapi ini juga tentang kita, para pengguna media digital,” ujar Xenia pada acara webinar literasi digital bertema ”Komunikasi Publik yang Sehat di Era Digital”, yang diselenggarakan oleh Kementerian Kominfo untuk masyarakat Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah, Senin (5/7/2021).
Menurut Xenia, ada dua sisi jejak digital yang kita tinggalkan di dunia digital: jejak digital positif atau malah sebaliknya negatif. Meskipun sulit dihilangkan, sebenarnya kita memiliki kendali atas jejak digital kita. Menjadi hal yang tidak dapat kita kendalikan karena berada pada pihak lain.
Cara untuk melindungi jejak digital kita ialah dengan mengenali seperti apa rekam jejak digital kita, dan mengetahui informasi apa yang ada di luar tentang diri kita.
”Langkah selanjutnya, ciptakan apa yang baik untuk kita, selalu cek privacy setting akun digital. Jika memungkinkan, hapus informasi yang tidak perlu diketahui semua orang, dan jangan lupa saring sebelum sharing,” jelas Xenia.
Xenia menambahkan, penting untuk dapat membentuk dan menjaga jejak digital kita semaksimal mungkin. Karena digital safety/keamanan digital adalah sebuah proses untuk memastikan penggunaan layanan digital dapat dilakukan secara aman dan nyaman.
Di akhir paparannya Xenia mengingatkan bahwa internet menghubungkan secara luas. Identitas digital pengguna internet bisa sama dengan identitas di dunia nyata, bisa juga tidak. Kita menjadi rentan berinteraksi dengan orang yang tidak kita kenal, dengan tujuan yang tidak kita ketahui.
Narasumber lain, dosen IAINU Kebumen Agus Salim Chamidi membahas komunikasi publik yang sehat di era digital. Menurutnya, untuk menjadi komunikator (pembawa pesan) yang menguasai TIK dengan baik, kreatif, kolaboratif, dan menjaga etika, maka harus memahami komunikan (audiens).
”Sedangkan menjadi komunikan (penerima pesan), dituntut untuk cerdas, tidak emosional, cepat tanggap, menjaga etika komunikasi. Sebuah pesan atau konten komunikasi haruslah fokus, menarik, familiar, mendidik, bukan hoaks, dan tidak SARA,” jelas Agus Salim.
Selanjutnya, Agus Salim berharap terjadinya kolaborasi antara budaya pesantren dengan budaya digital. Hal itu bisa dilihat dari munculnya kiai, dai, dan penceramah dari pesantren yang sadar atau melek digital, produktif, inovatif, kreatif, uptodate menyampaikan pesan-pesan keagamaan yang cerdas dan tetap santun.
Diskusi virtual yang dipandu moderator Fernand Tampubolon itu, juga menghadirkan Aswad Ishak (dosen Prodi Komunikasi UMY), Fikria Najitama (dosen IAINU Kebumen), dan Julia RDGS selaku key opinion leader.