Minggu, November 17, 2024

Kohesi dan solidaritas sosial melalui perangkat digital

Must read

Indonesia adalah sebuah bangsa berdasarkan nasionalisme yang dibangun oleh sentimen akan nasib, cita-cita dan tujuan yang sama di atas konstruksi masyarakat multietnik, alias masyarakat majemuk yang kerap disebut masyarakat multikultural.

”Multikulturalisme adalah sebuah ideologi yang mengakui dan mengagungkan perbedaan. Perbedaan yang dimaksud adalah perbedaan antarindividu atau perbedaan budaya, seperti perbedaan nilai-nilai, sistem, budaya, kebiasaan, dan politik,” ujar Nuzran Joher pada acara webinar literasi digital besutan Kementerian Kominfo bagi warga Kabupaten Brebes, Jawa Tengah, 9 Juni lalu.

Dalam diskusi vitual bertema ”Kohesi dan Solidaritas Sosial melalui Perangkat Digital”, Tenaga Ahli MPR RI itu menguraikan makna nasionalisme kebhinekaan dalam bingkai multikulturalisme Indonesia.

Indonesia Maju, kata Nuzran, ditentukan oleh kuatnya nasionalisme sebagai dasar membangun negara bangsa. Namun, hal itu juga membutuhkan ruang terpeliharanya ragam identitas dan kesetiaan kolektif demi dan atas nama Bhineka Tunggal Ika yang menjadi dasar lahirnya bangsa Indonesia sejak awal.

”Multikulturalisme menuntut kesadaran akan pentingnya pengakuan dan penghormatan terhadap perbedaan, menekankan keragaman identitas etnik, ras, agama, atau dominasi kultural lainnya,” jelas Nuzran.

Nuzran mengutip ucapan Din Syamsuddin yang mengatakan Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika merupakan jalan tengah yang penting bagi masyarakat majemuk yang mampu mengatasi sikap primordial atas dasar keagamaan ataupun kesukuan.

Jika Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika ada dalam kebebasan berekspresi, lanjut Nuzran, maka tidak akan muncul hoaks, ujaran kebencian, perundungan siber atau pembatasan akses digital lainnya. 

”Tidak akan ada black campaign berbasis agama dan ras, doxing kepada jurnalis yang menulis berbasis data ilmiah (science journalism), atau perang meme ‘cebong vs kampret’ dan ‘kadrun vs togog’ di lini media sosial,” urai Nuzran.

Untuk itu, Nuzran berharap kehadiran media dan teknologi digital harus menjadi sarana memperkuat budaya bangsa dan karakter warga negara. ”Memahami multikulturalisme dalam ruang digital berarti menghargai keragaman atau kemajemukan Indonesia,” tegasnya.

Sementara itu, narasumber dari Institut Mthali’ul Falah Pati Isryokh Fuaidi mencoba membandingkan antara etika tradisional dengan etika digital, atau etika offline dengan etika online.

Dalam etika tradisional (tata cara lama), kebiasaan dan budaya menjadi kesepakatan bersama di suatu masyarakat. Sedangkan dalam etika digital (tata cara baru), kebiasaan dan budaya berkembang karena teknologi.

Kecakapan literasi digital bagi Isryokh tidak hanya mengoperasikan alat, melainkan juga mampu bermedia digital dengan penuh tanggung jawab. ”Etika adalah panduan berperilaku terbaik di ruang digital dan di tengah masyarakat digital,” jelasnya.

Dipandu moderator Dannys Septiana, webinar literasi digital kali ini juga menghadirkan Maryam Fithriati (Co-Founder Pitakonan Studio), Muhammad Adnan (Content Creator), dan Triwi Dyatmoko selaku key opinion leader.

- Advertisement -

More articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -

Latest article