Media sosial pernah tampil dengan suatu harapan bahwa mereka akan memberikan pencerahan pada dunia politik, penyampaian informasi yang akurat, dan komunikasi yang tak henti-hentinya ditujukan untuk membantu orang-orang, baik untuk memberantas korupsi, memerangi kebodohan serta mengungkap kebohongan.
Dosen UIN Salatiga Rifqi Fairuz sengaja mengutip The Economist, edisi April 2017 untuk mengawali paparannya pada acara webinar literasi digital yang dihelat Kementerian Kominfo untuk masyarakat Kabupaten Tegal, Jawa Tengah, 18 Juni lalu.
Dalam acara virtual bertema ”Media Sosial sebagai Sarana Meningkatkan Demokrasi dan Toleransi”, Rifqi mengungkapkan fakta sebaliknya dengan yang ditulis The Economist. ”Kenyataannya, medsos banyak berisi caci-maki, kata kotor, kebencian, dan kabar bohong,” ujarnya.
Selain itu, lanjut Rifqi, medsos juga dihinggapi penyakit ujaran diskriminatif, perundungan, hate speech. Dalam hate speech ada ekspresi yang menganjurkan ajakan untuk mendeskreditkan, menyakiti seseorang atau sekelompok orang dengan membangkitkan permusuhan, kekerasan, dan diskriminasi kepada orang atau kelompok tersebut.
”Pengguna internet merasa bebas melakukan itu karena mereka berpikir bahwa di internet mereka tidak akan diketahui (anonim). Hal ini membuat mereka merasa jauh lebih nyaman untuk mengutarakan kebencian dibanding jika mereka di dunia nyata,” urai Rifqi.
Lebih jauh Rifqi menguraikan bahaya hate speech bagi demokrasi. Hate speech akan membatasi hak individu serta merupakan bentuk intimidasi individu dan pembatasan hak berpendapat. Hate speech juga memunculkan ekstremisme sebagai pintu masuk bagi ideologi ekstremisme dan intoleran untuk meraup simpati warga.
Bahaya lain dari hate speech ialah polarisasi. Hate speech menciptakan polarisasi masyarakat, memecah belah persatuan dan mengancam keselamatan. Sehingga pada gilirannya akan mengeskalasi terjadinya kekerasan yang mengancam jiwa individu. ”Untuk melawan hate speech harus ada sinergi antara negara, media, dan masyarakat pengguna medsos,” tegas Rifqi.
Pemred Harian Radar Tegal M. Fatkhurohman menambahkan, era digital telah membawa berbagai perubahan yang baik sebagai dampak positif yang bisa gunakan sebaik-baiknya. Namun dalam waktu yang bersamaan, era digital juga membawa banyak dampak negatif, sehingga menjadi tantangan baru dalam kehidupan manusia di era digital
ini.
Dampak positif era digital, kata Fatkhur, misalnya: meningkatkan kualitas SDM, munculnya e-commerce, munculnya sumber belajar, sumber pengetahuan informasi masyarakat, tumbuhnya inovasi berbagai bidang. ”Sementara dampak negatifnya ialah: ancaman pelanggaran HKI, penipuan, berpikir jalan pintas, dan sebagainya,” pungkas Fatkhur.
Acara webinar yang dipandu oleh moderator Zacky Ahmad ini juga menampilkan narasumber Bambang Kusbandrijo (dosen Untag Surabaya), Kismartini (dosen Undip), dan konten kreator Cindy A. Endge selaku key opinion leader.