Setelah dinobatkan sebagai Kota Cerdas (Smart City) nomor 2 nasional kategori kota sedang dari Litbang Harian Kompas tahun 2018, Kota Salatiga tak pernah berhenti berbenah. Terus memperbaiki seluruh sektor guna mewujudkan ”Salatiga Smart City” yang sesungguhnya.
”Untuk mewujudkan cita-cita itu ada beberapa urgensi masalah yang hingga saat ini sedang kita upayakan penyelesaiannya,” ujar Wali Kota Salatiga Yulianto pada webinar literasi digital bertajuk ”Transformasi Digital UMKM dan Ekonomi Kreatif: Menuju Salatiga Kota Gastro History” yang digelar Kementerian Kominfo untuk masyarakat Kota Salatiga, Jawa Tengah, Senin (19/7/2021).
Urgensi mewujudkan Salatiga Smart City harus menyentuh semua lini, kata Yulianto. Artinya, meliputi budaya smart, ego sektoral, dan kesiapan infrastruktur serta SDM. Dalam budaya smart, tantangannya ialah menanamkan karakter dan kebiasaan sejak dini. Karakter smart dalam semua hal, karena smart bukan cuma terkait internet.
”Smart city juga berarti meniadakan ego sektoral. Membangun bersama, atau dikenal dengan semboyan ‘Maju Bareng Mulyo Bareng’, dan menyiapkan infrastruktur yang berkelanjutan di tengah keterbatasan anggaran biaya,” tutur Wali Kota yang berlatar pengusaha itu.
Konsep smart city, lanjut Yulianto, merupakan konsep kota yang memanfaatkan teknologi informasi untuk mengintegrasikan seluruh infrastruktur dan pelayanan dari pemerintah kepada warga masyarakat. Smart city juga merupakan kota yang setiap instrumennya saling berhubungan dan berfungsi secara cerdas.
”Instrumen dan sektor cerdas itu meliputi: pendidikan dan pemerintahan yang cerdas, kewargaan cerdas, ketersediaan energi, teknologi cerdas, infrastruktur cerdas, mobilitas cerdas, smart building, dan smart healthcare,” papar Yulianto di depan ratusan peserta webinar.
Pak Wali menambahkan, untuk menjadi smart city yang paripurna beberapa potensi telah dimiliki Salatiga. Antara lain, wilayah kecil hingga penanganan masalah terjangkau dan terpantau; kota cerdas dengan IPM tertinggi di Jateng, kota paling toleran di Indonesia; gap kemiskinan terendah di Jateng, kesiapan teknologi, ketersediaan para ahli si UKSW dan UIN serta tenaga pendidik dan siswa berprestasi,” jelas Yulianto.
Dengan menyandang predikat sebagai kota paling toleran nomor 2 di Indonesia dan kota paling indah di Jawa Tengah (Dea Schoonnste Stad Van Midden Java), Salatiga menjelma sebagai kota smart living dengan pendidikan yang toleran.
”Pengelolaan Kota Salatiga mengedepankan Tri Fungsi Kota, yakni Kota Pendidikan dan Olahraga, Kota Perdagangan dan Jasa, dan Kota Pariwisata. Salatiga harus cerdas perekonomian, cerdas sosial, dan cerdas pengelolaan lingkungan,” pungkas Yulianto
Berikutnya, narasumber Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Salatiga Valentino T. Haribowo mengatakan, multiplier & trickle down effect sektor kuliner di Salatiga berimplikasi untuk mewujudkan smart city. Sehingga, Salatiga layak menyandang julukan ”Liveable City” dan ”Loveable City”.
”Indikatornya, pendapatan per kapita; IPM (Indeks Pembangunan Manusia) tertinggi ke-2 se-Jateng; tingkat penurunan angka kemiskinan terendah ke-2 se-Jateng; pertumbuhan ekonomi; kondusivitas wilayah; kemudahan pelayanan; dan jaringan infrastruktur,” urai ASN yang akrab disapa Tino itu.
Dengan berbagai kondisi di atas, lanjut Tino, maka Salatiga kini sedang mentransformasi digital UMKM dan ekonomi kreatifnya menuju ”Salatiga Kota Gastro History”. Artinya, kota yang ingin mengembangkan budaya kuliner, tata boga makanannya berdasarkan kajian dan pengembangan dari latar belakang sejarah.
”Gastronomi di sini juga tentang bagaimana cara mengelola dari hulu ke hilir, menyajikan dan menikmati potensi kuliner di suatu wilayah secara berkelanjutan, sehingga memberi kemanfaatan yang menyeluruh dari sisi ekonomi, politik, budaya, sejarah, geografi, teknologi, dengan ciri-ciri potensi mengakar, berkelanjutan, linked, dan multidisiplin,” jelas Tino.
Salatiga, sambung Tino, juga mencalonkan bergabung di Unesco Creative City Network (UCCN). Pencalonan tersebut didasari atas latar belakang Salatiga yang kaya akan potensi: kuliner, sejarah, kota UMKM, multietnis dan budaya, pusat studi, regulasi, fasilitas sarana prasarana sebagai spot sentra kuliner, lembaga, event, dan dukungan.
Potensi kuliner khas Salatiga memang tak terhitung jumlahnya. Sebut saja misalnya: gulo kacang, kripik paru, roti Tegal, bakpia Om Tan, ronde, kopi wedang rempah, sambal tumpang koyor, nasi koyor Sukini, bakso babat, nasi godog, nasi goreng mawut, sate sapi suruh, enting-enting gepuk, dan masih banyak lagi.
”Belum lagi, Salatiga juga telah memiliki kawasan tematik kuliner, seperti: Kampung Telo Ngaglik Ledok (30 pelaku EKRAF), Kawasan Sate Hot Plate Blothongan, Kawasan Kopi dan Olahan Susu di Kumpulrejo,” sebut Tino.
Acara diskusi yang dipandu oleh moderator Eka Tura Johan itu, juga menghadirkan narasumber Roch Hadi (Kepala Dinas Koperasi dan UMKM Kota Salatiga), Abel Jahayu Prakosa (Sejarawan Kota Salatiga), dan Digital Creator & Miss Tourism International 2019 Astari Vernideani selaku key opinion leader.