Masih ingat Ria Jenaka? Yup, itulah acara hiburan di TVRI era 1980-an hingga 1990-an yang sarat berisi pesan pembangunan, namun disajikan dengan gaya jenaka. Pesan pembangunan itu mudah dicerna, lantaran kala itu praktis hanya TVRI satu-satunya sumber informasi dan komunikasi publik dan juga hiburan, yang menjadi tontonan massal. Baru setelah 1990, hadir RCTI dengan hiburan penanda globalisasi, Doraemon, kartun impor Jepang.
Namun, sepuluh tahun terakhir, seiring dengan hadirnya era digital media dengan satu teknologi smartphone, remaja dan publik Indonesia tak puas lagi hanya dengan hiburan sekelas Ria Jenaka atau Doraemon. Berbagai informasi pendidikan, hiburan film, musik, dan beragam konten digital lain bisa dinikmati dan diakses hanya dengan sentuhan jari lewat smartphone. Semua ada, apa pun bisa.
”Ini sekaligus penanda transformasi perubahan gaya hidup masyarakat. Termasuk dalam bekerja dan mendapatkan pendidikan, terlebih di masa pandemi seperti sekarang,” papar Ahmad Ramdhon, dosen FISIP UNS Solo, saat berbicara dalam webinar literasi digital yang digelar Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) untuk warga Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah, 24 Juni lalu.
Webinar yang mengusung tema ”Literasi Digital bagi Tenaga Pendidik dan Anak Didik di Era Pendidikan Online”, itu dimoderatori oleh presenter Danys Citra. Sedangkan narasumber pemberi materi, selain Ahmad Ramdhon, juga ada Eko Sugiono (digital marketer dari GCoach), Erfan Aryaputra (training developer expert), Dr. Triana Rejekiningsih (dosen UNS Solo), dan Mohwid, seorang akademisi yang tampil sebagai key opinion leader.
Lantas, bagaimana sebenarnya dampak pandemi dan transformasi digital terhadap dunia pendidikan saat ini?
”Dampak nyata dari pandemi dan kemajuan teknologi, terlebih sejak hadirnya smartphone sepuluh tahun terakhir, telah mengubah cara masyarakat dalam bekerja dan beraktivitas, termasuk dalam mengakses dunia pendidikan bagi anak,” ungkap pembicara lain, Eko Sugiono dari GCoach.
Terlebih-lebih, dalam amatan Eko, dunia pendidikan menjadi salah satu sektor yang sangat terdampak di masa pandemi. ”Orangtua, siswa, dan guru menjadi segitiga emas yang harus beradaptasi dalam kegiatan pembelajaran online. Kondisi itu, mau tak mau, mendorong segitiga emas itu mesti beradaptasi dengan teknologi smartphone,” jelas Eko.
Lebih jauh Eko menjelaskan, dalam menghadapi pembelajaran online di masa pandemi, guru dan orangtua siswa perlu melakukan pendalaman agar tidak sekadar mampu, tapi menguasai dan lebih cakap literasi digital. Sebab, dekatnya anak-anak dengan media sosial rentan membawa pengaruh negatif.
Pemahaman orangtua dan guru yang lebih baik pada literasi digital juga bisa mencegah terjadinya cyberbullying, kecanduan game online, dan beragam bentuk penipuan online pada saat anak mengakses online di luar jam belajar. ”Itulah saat ketika anak bisa lepas dari pengawasan guru, tapi mestinya masih dalam kontrol orangtua, karena akses ke internet tetap dilakukan di rumah sebagai dampak pandemi,” tutur Eko.
Ahmad Ramdhon menambahkan, dalam proses belajar digital, budaya digital mesti tetap menjadi bagian dari upaya melestarikan kebudayaan lokal dengan terus menjaga semua bentuk kearifan lokal, keberagaman identitas, hingga promosi seni budaya lokal. ”Selain itu, juga terus merawat perbedaan dan keberagaman sosial budaya bagi tumbuh kembang anak dalam proses pendidikan secara digital,” jelasnya.
Yang tidak kalah penting, dalam ulasan Ahmad Ramdhon, proses pendidikan anak tetap selalu dilandasi dengan identitas kebangsaan yang kuat, yakni: berdasar Pancasila, kebinekaan, dan keberagaman yang penuh toleransi, menjaga sikap kerukunan dan berkeadilan. ”Zaman boleh berubah, tapi kepada anak harus terus ditanamkan sikap dan nilai-nilai itu dalam budi pekertinya,” tegas Ramdhon memungkas diskusi.