Oleh Idrus F. Shahab
Simfoni no 9 in D minor…
Simfoni terakhir yang digubah sang komponis ini berkisah tentang harapan segenap umat manusia: kebebasan, perdamaian, persaudaraan, dan persamaan. Karya Beethoven yang dirampungkannya pada 1824 ini acap kali hadir manakala peristiwa bersejarah terjadi. Musik ini dimainkan tidak lama setelah Tembok Berlin runtuh pada 1989 dan gempa bumi besar menghancurkan Jepang pada 2011.
Bagian keempat simfoni ini dibuka dengan suasana mendung, yang dibangun oleh barisan pemain alat-alat gesek berat: bas, kontrabas, dan cello. Mungkin alat gesek tersebut dianggap sanggup mewakili perasaan-perasaan kelam dengan tepat.
Melalui suasana ini, Beethoven seolah-olah menyodorkan gambaran seorang ibu yang-dengan segala peluh, pedih, dan nyeri-sedang berjuang keras dalam sebuah persalinan panjang. Suasana berubah total manakala klarinet dan flute, ditambah simbal, mulai membawakan melodi yang bergemerincing riang dalam nada-nada mayor.
Sang bayi telah lahir, bayi kebebasan, persamaan, dan persaudaraan umat manusia serta semua instrumen bangkit memainkan nada-nada meriah tersebut.
Pada puncaknya, kelompok paduan suara bergabung menyanyikan “Ode to Joy”, terjemahan “An die Freude”, puisi karya penyair Jerman abad ke-18, Friedrich Schiller, dalam melodi yang riang itu. Satu puisi yang berbicara tentang pembebasan segenap manusia.
Ya, revolusi, reformasi, dan perubahan besar lainnya umumnya berangkat dari rasa perih dan pengorbanan. Lahir dari penolakan terhadap suatu keadaan, ia kemudian berakhir dengan labelisasi yang acap kali sewenang-wenang: sebagian orang menjadi pahlawan, dan sebagian lagi pengkhianat.
Seolah meninggalkan wasiat, tiga tahun setelah menyelesaikan simfoni tersebut, komponis ini undur diri dari dunia yang hiruk-pikuk.
Berita kematian Ludwig van Beethoven sebenarnya sudah beredar sejak hari ia menutup mata di Wina pada 26 Maret 1827.
Namun masyarakat yang dirudung duka itu baru berbondong-bondong memenuhi pekarangan rumah duka –tempat ini dikenal dengan nama Schwarzspanierhaus, rumah orang Spanyol yang berjubah hitam—tiga hari kemudian. Mereka juga berkerumun di jalan-jalan yang akan dilalui jenazah.
Pada 29 Maret 1827 itu, sekolah-sekolah diliburkan, sejumlah serdadu sengaja didatangkan dari barak-barak tempat mereka tinggal– sekadar memastikan bahwa kerumunan massa yang muram dan jumlahnya ditaksir mencapai 30 ribu itu tidak melakukan hal-hal anarkis. Pukul 16.30 sore, iring-iringan yang mengantar peti jenazah ke pemakaman mulai bergerak.
Namun kereta kuda yang membawa peti jenazah sang komponis, tampak seperti jalan di tempat di antara lautan massa. Paling tidak, demikianlah yang dilukiskan media setempat tatkala memberitakan pemakaman Ludwig van Beethoven.
“Tak ada pemakaman kaisar seperti Beethoven ini,” kata Graf Zmeskall, seorang sahabat karib Beethoven. Pemakaman ini semacam penghormatan terakhir para pencinta seni dan kemerdekaan di Wina kepada seniman besar ini.
Ada beberapa tokoh bangsawan muncul dalam upacara, namun mereka tak mewakili pemerintah. Hubungan Beethoven dengan kaum bangsawan dan pemerintahan memang tak harmonis. “Pemerintah tidak diundang,” tukas Zmeskall, dingin.
Komponis yang kasar, menyebalkan, tidak peka, eksentrik dan selalu menutup diri dari dunia luar itu telah pergi, tapi ribuan penduduk kota Wina kini meratapi kepergiannya.
“Dia mengundurkan diri dari dunia ramai, setelah mempersembahkan segenap kemampuan artistiknya, perasaaan terdalamnya, hati dan darahnya,” ungkap sang sahabat.