Media sosial menjadi salah satu sarana yang, di era digital ini, kerap disalahgunakan untuk membangun fanatisme dan pemaknaan agama secara sempit hingga berujung suburnya radikalisme.
“Media sosial memiliki satu algoritma yang membuat orang cenderung hanya mendapat informasi yang ia inginkan saja atau dari kelompoknya sendiri. Itu yang membuat ia tertutup akses atas kebenaran atau informasi dari pihak lainnya,” kata peneliti Paramadina Public Policy Septa Dinata saat berbicara dalam webinar literasi digital bertajuk “Membangun Toleransi Beragama Melalui Media Sosial” yang digelar Kementerian Kominfo dan Debindo untuk warga Kota Semarang, Jawa Tengah, Jumat (23/7/2021).
Septa pun memberikan contoh menarik yang sempat sejenak menghebohkan media sosial awal 2020 lalu. Saat itu beredar informasi berbentuk berita mengenai seorang pria yang mengalami penyakit mengerikan. Tangannya menghitam, membusuk hingga mengeluarkan bau menjijikkan, disebut-sebut sebagai azab setelah membakar AlQuran. Judul artikelnya saat itu ‘Setelah Membakar AlQuran Jari Tangan Pria Ini Menghitam dan Membusuk Mengeluarkan Bau Menjijikkan’.
Padahal, fakta sebenarnya, menghitamnya tangan pria asal Prineville, Oregon, Amerika Serikat itu karena mencoba mengambil tikus yang tersangkut di tenggorokan seekor kucing. Namun, usaha pria tersebut gagal dan kucing itu malah menggigit tangannya hingga infeksi parah.
“Fanatisme keagamaan ini menjadi ladang subur munculnya hoaks di media sosial, dan lama-lama membuat orang menjadi radikal dalam arti tak mau menerima kebenaran lain,” kata Septa.
Parahnya, tak hanya di bidang agama, tapi juga fanatisme politik, seringkali dipicu melalui medsos. Dengan contoh nyata dua kali pemilihan presiden di Indonesia 2014 dan 2019 lalu.
“Polarisasi di medsos di Indonesia sudah kita temukan sejak Pilpres 2014 kemudian berlanjut dan menguat pada Pilpres 2019. Satu kelompok pendukung capres tak mau menerima informasi dari capres lainnya, hingga pemahaman pun menjadi monolitik,” tutur Septa dalam webinar yang juga menghadirkan narasumber Femikhirana Widjaja (digital marketing strategist), Prasidono Listiaji (Konsultan Komunikasi Pemasaran) dan Muhammad Siswanto (Kepala MAN 4 Kebumen) itu.
Agar menjadi manusia yang utuh dalam menyerap informasi dan tidak menjadi fanatik, bahkan radikal dalam bidang apa pun, Septa mewanti-wanti pengguna media sosial memahami bahwa ada jebakan algoritma di situ.
“Kita yang harus pandai-pandai memperluas wawasan akan suatu hal di media digital, karena di media sosial mengarahkan rekam jejak apa yang pernah kita cari atau ikuti saja,” kata dia.
Media sosial, masih menurut Septa, memiliki algoritma untuk memudahkan melacak data, dan tentu saja sebuah kemudahan untuk industri periklanan. Sehingga, informasi yang disajikan ke publik hanya sesuai rekam jejak penggunanya.
“Mesin pencari utama akan mengerti dengan tepat apa yang pengguna inginkan, dan mengembalikan informasi yang pengguna inginkan itu,” kata Septa.
Ringkasnya, Septa menilai sistem algoritma media sosial bisa sangat berbahaya karena membuat seseorang terkungkung wawasannya. Seseorang tak pernah melihat sudut pandang berbeda dari orang lain dan kemungkinan akan berlarut-larut dalam pandangannya sendiri sangat besar, sehingga cenderung mendefinisikan dunia hanya dari satu sudut pandang saja alias radikal.
Kepala MAN 4 Kebumen Muhammad Siswanto, dalam kesempatan itu menyoroti gencarnya ujaran kebencian dan hoaks bernuansa SARA dalam media sosial yang masih terjadi, seolah lupa bahwa Indonesia adalah negara yang majemuk dan plural.
Siswanto lalu menunjuk ajaran teduh AlQuran, khususnya surah al-Hujurat ayat 13 tentang tujuan penciptaan manusia dengan realitas keragaman bangsa.
“Manusia diajarkan untuk saling berbagi, berkenalan, saling memberi dan menerima apa pun latar belakangnya. Sehingga, ujaran kebencian dan hoaks bernuansa SARA itu tak seharusnya terjadi, baik di dunia nyata maupun media sosial,” ujar Siswanto.
Siswanto mengatakan, media sosial hendaknya menjadi sarana menyebarkan kebaikan dan menjunjung toleransi.
“Jangan sampai dengan kebebasan berpendapat dimanfaatkan untuk penyebarluasan disinformasi dan propaganda kebencian, juga hoaks,” ujarnya.