Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) makin menggencarkan sosialisasi literasi digital kepada masyarakat. Salah satunya lewat webinar yang diselenggarakan untuk warga Kabupaten Rembang, Jawa Tengah, pada Jumat (23/7/2021) dengan tema “Moderasi dan Penanaman Nilai-Nilai Keagamaan melalui Online”.
Literasi digital adalah program nasional yang dirancang untuk mendukung percepatan transformasi digital dan mewujudkan sumber daya yang cakap digital. Kompetensi literasi digital yang ditanamkan meliputi digital ethics, digital culture, digital skill dan digital safety.
Pada diskusi hari ini entertainer Harry Perdana tampil memandu kegiatan dengan menghadirkan sejumlah narasumber: Saeroni (kepala LPPM UNU Yogyakarta), Rifqi Fairuz (redaktur Islami.co), Fitriana Aenun (kepala MTsN 3 Purworejo), Nurkholis (penasihat ahli Kapolri bidang HAM). Selain itu juga hadir Duta Generasi Berencana Dwi Apri sebagai key opinion leader.
Fitriana Aenun mengatakan, moderasi beragama merupakan jalan tengah, tidak bias dan tidak berpihak, serta bersikap adil kepada semua pihak. Di tengah kultur masyarakat Indonesia yang majemuk, perbedaan merupakan hal fitrah yang harus disikapi dengan moderasi.
Moderasi sebenarnya dapat dilakukan dengan menanamkan nilai-nilai dari Bhineka Tunggal Ika dan Pancasila kepada anak dan peserta. Yakni menanamkan nilai kasih, kesetaraan, harmoni, demokrasi, dan gotong royong.
“Caranya dengan mengemasnya dengan moda intrakurikuler, ekstrakurikuler yang kemudian dikembangkan menjadi pembiasaan yang bertujuan untuk meningkatkan nilai spiritual anak-anak kita. Sedangkan strategi pelaksanaannya dapat dilakukan secara individu, kelompok maupun klasikal,” jelas Fitriana kepada ratusan peserta webinar.
Namun yang menjadi tantangan di era digital adalah anak-anak lebih mudah belajar agama melalui platform digital, sedangkan informasi di internet belum bisa dikatakan semuanya valid dan benar. Di sini guru atau tokoh agama dan konten kreator berperan untuk membuat konten agama yang nilainya dari sumber yang dapat dipercaya.
“Penanaman nilai moderasi beragama bisa dengan memberikan contoh keteladanan, regulasi pemerintah, pengajian atau pembelajaran daring. Atau, memanfaatkam media sosial dengan membuat teladan melalui konten. Implementasinya adalah bagaimana kita membuat perencanaan kemudian dilaksanakan dan dilakukan evaluasi,” imbuhnya.
Dari perspektif lain, Nurkholis menambahkan, dalam hal etika moderasi itu selama tidak menyinggung SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan) itu merupakan hal bagus. Pasalnya, empat hal itu merupakan isu sensitif, sehingga bersikap moderat adalah keharusan sebagai wujud etika dalam segala hal.
“Dalam konteks bernegara di media sosial, sebenarnya kita semua punya hak dan tanggung jawab. Hak bermedia digital itu dijamin dalam undang-undang dan tugas negara adalah untuk melindungi, menghormati, dan memenuhi hak-hak tersebut,” terang Nurkholis.
Sehingga apa pun perbedaan yang menandakan keragaman kita, seharusnya menjadi kekuatan tersendiri. Tinggal bagaimana menempatkan perbedaan itu agar tidak memecah kebangsaan.
Sementara itu, Saeroni berpendapat, dalam menyikapi berbagai perbedaan itu guru dan orangtua hendaknya menanamkan kepada anak untuk cerdas dalam bermedia digital.
“Mengajak mereka untuk berlatih berpikir kritis saat menerima informasi atau konten keagamaan agar terhindar dari paparan konten negatif yang mengatasnamakan agama. Sebab, agama seringkali digunakan untuk kepentingan politik. Memahami kebermanfaatan sebuah konten, dan mengajarkan untuk menilai informasi berdasarkan kredibilitas sumber serta komprehensif,” tambahnya.
Orangtua hendaknya juga mengajak anak untuk menguji konten yang diterima apakah sesuai fakta, inspiratif, berimbang, dapat dipertanggungjawabkan, dan komprehensif.