Jumat, Desember 20, 2024

Tren solidaritas digital. Dari ICJ sampai ’salam aspal nggronjal’

Must read

Harus semakin kita sadari, datangnya ”Semesta Raya Digital” satu dekade terakhir semakin menghadirkan teknologi cerdas dan efisien, yang juga berdampak menghasilkan ruang besar tanpa batas, wilayah borderless, yang bisa digunakan bersama.

”Inilah ruang yang menjadi tempat orang bisa membuat identitas baru dengan akun virtual baru yang, secara digital, bisa membuatnya berinteraksi sosial lebih luas, bahkan tak terbatas. Suatu tren yang butuh skill kecakapan digital untuk menyikapi perkembanganya,” kata Muhamad Achadi, mantan wartawan harian Bernas Yogyakarta yang kini menjadi CEO layanan digital, Jaringpasarnusantara.id.

Mas May, sapaan karib Achadi, menyampaikan hal itu saat tampil dalam webinar bertajuk ”Kultur Trend pada Era Digital” yang digelar Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) untuk warga Kabupaten Bantul 24 Juni lalu. Dipandu Dannys Citra selaku moderator, webinar juga menghadirkan narasumber lain, yakni: Dely Maulana (dosen Universitas Serang Raya dan IAPA), Imam Wicaksono (CEO Sempulur Craft), Krisno Wibowo (pemred media online suarakampus.id), dan Adinda Daffy, entertainer yang bertindak selaku key opinion leader.

Skill digital dengan menguasai kecakapan literasi digital, menurut Mas May yang pernah menjabat wakil ketua DPRD Kabupaten Magelang, menjadi penting karena salah satu dampak tren dunia digital adalah ”matinya para ahli”. ”Sebab, saat ini, semua orang dengan bantuan beragam fitur di Google bisa belajar cepat dan segera menjadi ahli apa pun. Juga, bisa memproduksi info dan konten apa pun dan segera diposting di media sosial,” ujarnya.

Namun, May Achadi menambahkan, dirinya tetap membedakan kualitas hasil produk konten informasi yang diproduksi oleh wartawan yang bekerja berdasar kode etik jurnalistik dan dilindungi undang-undang, sehingga karyanya bukan bebas tak terbatas etika. ”Produknya berbeda dengan konten informasi ala konten kreator yang bisa siapa saja, tidak ada yang mengontrol, kecuali penerima info menyeleksi dengan kecerdasan dan kecakapan literasi digital. Jujur, saat ini masih minim keterampilan mayoritas netizen kita,” ungkap May prihatin.

Sudah begitu, sejauh ini, sanksi buat konten kreator yang melanggar tata krama hanyalah sanksi sosial dari para netizen. ”Saat dia kembali posting dan tak beretika, maka netizen segera membuka jejak digitalnya yang buruk untuk membuatnya malu dan mungkin tidak bakal berani online lagi sebelum memperbaiki tabiatnya,” papar May.

Narasumber lain, Imam Wicaksono, ikut menimpali. Kata dia, pentingnya menjaga jejak digital bagi seorang netizen, apalagi yang kemudian menjadi konten kreator, utamanya berurusan dengan menjaga nama baik. Sebab, semua tapak data, jejak digital yang diunggah seseorang setelah beraktivitas di internet – baik di situs pencarian maupun postingan di beragam medsos, baik saat sedang marah atau saat curhat – akan terekam secara digital.

Celakanya, rekaman itu bisa diambil oleh siapa pun untuk suatu saat digunakan di luar dugaan kita sebagai penyetor tapak jejak digital. ”Makanya, rawat betul jejak digital kita. Jangan sampai disalahgunakan untuk menghabisi nama baik kita oleh netizen, yang ternyata di lain kesempatan menjadi musuh atau kompetitor bisnis atau lawan politik kita. Ini yang perlu dijaga betul,” pesan Imam.

Kalau urusan jejak digital sudah terjaga, gunakan untuk kegiatan yang positif. Nah, salah satu fenomena sosial yang menarik di era digital saat ini, menurut Krisno Wibowo, yakni tidak melunturnya tren gotong-royong dan solidaritas sosial dalam kehidupan masyarakat. Dunia digital justru dipilih sebagai sarana atau instrumen implementasi perwujudan solidaritas sosial yang lebih luas dan efektif.

”Kita salut pada tampilnya Info Cegatan Jogja (ICJ) di facebook, di mana semua orang yang lihat dan baca bisa tergerak untuk berbuat siapa bisa memberi apa, siapa bisa membantu apa. Semua bisa memposting info yang sifatnya berbagi info, mulai dari dompet hilang, orang hilang, kecelakaan dan semua saling bantu tanpa pamrih. Itu bukti, tolong menolong dan gotong-royong, solidaritas semakin berdaya dengan internet,” jelas Krisno.

Yang juga unik, di Yogya tumbuh komunitas digital yang saling membantu lewat info medsos. Mereka punya relawan spontan yang siap membantu orang yang punya masalah di jalan. Mulai dari ban bocor siap tambal, ibu atau perempuan kemalamam pulang siap antar, belikan bensin, dan segala bentuk kemalangan di jalan. Semua dibantu secara gratis.

”Menariknya, usai proses bantuan tuntas dieksekusi, penolongnya akan posting di grup komunitas itu di facebook. Salam aspal nggronjal. Mungkin itu pesan sosial, karena tak selamanya proses pulang selalu mulus di jalan,” ucap Krisno, sumringah.

- Advertisement -

More articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -

Latest article