“Dan Allah tidak akan menunda (kematian) seseorang bila waktu kematiannya telah tiba. Dan Allah Maha Teliti atas yang kamu kerjakan.” – (Al Munafiqun 11)
Oleh Eddy Herwanto
Dalam kepanikan, dan tidak tahu apa yang harus dilakukan, Hadiyanto (bukan nama sebenarnya) harus melepas isterinya di sofa ruang tamu. Covid-19 telah merenggutnya. Seminggu terakhir, Hadiyanto menghubungi hampir semua rumah sakit di Kota Tangerang dan Tangerang Selatan. Semua menyerah, tidak mungkin lagi menerima pasien baru Covid-19, bahkan tenda darurat, dan serambi UGD telah dipadati pasien.
Awal Juli menjadi bulan penuh ketegangan bagi Hadi dengan tiga anak (sulung 11 tahun, kemudian 5 dan 3 tahun, semuanya lelaki). Isterinya terpaksa isolasi mandiri (isoman) tanpa bantuan oksigen dan tenaga kesehatan. Dia tahu isterinya terpapar, tapi awam untuk menanganinya. Dalam catatan laporcovid19.org., kematian pasien di luar rumah sakit ( 1 Juni – 21 Juli 2021). – termasuk isoman – mencapai 2.313 warga, dan 1.217 di antaranya warga Jakarta. Pada periode itu, kematian seluruh pasien Covid-19 tercatat 26.344 warga (28% dari kematian sejak Covid masuk ke Depok 2 Maret 2020).
Sampai 30 Juli 2021, pemprov DKI Jakarta mencatat terdapat 16.767 warga yang melakukan isoman di rumah. Wakil Gubernur Jakarta Ahmad Riza Patria meminta warga isoman bersedia pindah ke pusat penampungan terkendali agar mudah dilayani. Katanya, pemprov menyediakan 184 lokasi yang bisa menampung 26.134 pasien tanpa gejala dan bergejala sedang. Kini setelah banyak pasien sembuh, dan kasus aktif Covid-19 melandai, banyak ruang isolasi seperti Apartemen Naggrak di Cilincing atau Wisma Atlet Ragunan mulai lengang
Perbaikan situasi itu tidak boleh membuat kita lengah. Apalagi jika mengingat tingginya kematian warga isoman pada 1 Juni – 21 Juli 2021 itu menunjukkan kritisnya pelayanan kesehatan akibat meluapnya pasien sejak fasilitas kesehatan tingkat pertama hingga rumah sakit rujukan. Padahal tenda darurat sudah didirikan, dan gedung pemerintah difungsikan sebagai rumah sakit darurat. Namun, karena banyak tenaga kesehatan terpapar hingga wafat, ditambah kelangkaan oksigen, pasien yang tak bisa dilayani dan sudah kritis, berjatuhan di atas kursi roda, selasar atau serambi ruang UGD.
Sejak akhir Juni hingga pertengahan Juli, tingkat keterisian tempat tidur (BOR) di banyak rumah sakit di Jawa dan Bali sudah melampaui beban maksimal. Di RS Dr Sardjito Jogya, misalnya, terputusnya pasokan oksigen sentral rumah sakit, menyebabkan 63 pasien Covid-19 dan nonCovid-19, berguguran secara berurutan sejak Sabtu 3 Juli hingga Minggu pagi 4 Juli 2021. Kematian bukan hanya disebabkan virus itu sendiri melainkan juga karena lumpuhnya sistem pendukung rumah sakit. Tingginya kematian dalam hitungan jam itu juga merepotkan petugas pemulasaran, dan pemakaman.
Menjadi pemandangan memilukan, saat jenazah harus antre untuk disucikan, dan antre di pemakaman hingga keesokan harinya di banyak kota di Jawa. Ambulan hilir mudik ke pemakaman. Sebuah mobil ambulan pernah mengangkut sekaligus 3 peti jenazah Covid-19 dari RS Chasbulah Abdul Majid, Bekasi, demi menghemat waktu. Miris, saat petugas dengan APD lengkap juga harus mengangkut jenazah isoman Covid-19 yang wafat di rumah. Angka kematian pasien isoman sebenarnya tidak jelas, menjadi dark number, mengingat tidak semua warga yang terpapar melapor ke RT atau Puskesmas.
Rem kemudian diinjak dengan PPKM (Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat ) Darurat 3 – 20 Juli 2021 karena PPKM Mikro di pelbagai daerah dianggap kurang berhasil mengendalikan penularan dan mengerem laju kematian pasien Covid-19. Sejak Mei 2021 angka kematian Covid-19 selalu berada di atas 1.000, dan mencapai puncaknya dua minggu terakhir Juli mendekati 3.000 – mengikuti warga yang positif terpapar lebih dari 40.000 orang setiap harinya.
Menjelang Agustus angka penularan di Jawa dan Bali cenderung melandai, sebaliknya di luar Jawa dan Bali justru menguat. Sedikit kelonggaran dilakukan dengan PPKM Berjenjang (Level) sejak 26 Juli – 2 Agustus 2021. Harapannya, penularan dan kematian pasien Covid-19 mestinya bisa dikurangi; namun yang terjadi sebaliknya. Saat PPKM Darurat diberlakukan, kemudian diperpanjang dengan leveling hingga 2 Agutus angka kematian cenderung naik, di samping angka kesembuhan juga naik.
Kemenkes mencatat terjadi 28.344 kematian pasien Covid-19 (28% Dari kematian sejak Covid-19 masuk Indonesia 2 Maret 2020) pada periode 1 – 27 Juli 2021. Dari jumlah itu, 2.705 di antaranya pasien isoman. Diakui sulit mendapat angka tepat korban isoman, dan juga tidak mudah melakukan verifikasi. Jadi karena kesulitan mengumpulkan data yang terverifikasi, kematian di luar rumah sakit (isoman) menjadi dark number tersendiri. Menurut laporcovid-19.org, mengutip pengurus IDI Jawa Timur, banyak kematian isoman yang tidak dilaporkan. “Jangan heran jika data dari Malang hanya 0, padahal data di kuburan hampir 20-30 kali lipat,” kata dr Sutrisno SpOG, ketua IDI Jawa Timur.
Kematian pasien isoman terjadi bukan melulu karena faktor kemiskinan. Menurut pihak IDI (Ikatan Dokter Indonesia) dalam suatu diskusi daring dengan MetroTV 26 Juli 2021 malam, mayoritas isoman itu wafat karena tidak mendapatkan suplai oksigen dan pelayanan kesehatan dari fasilitas kesehatan tingkat pertama (Puskesmas) setempat. Kematian juga bisa terjadi karena pasien isoman enggan ke Puskesmas, dan rumah tinggalnya tidak memiliki banyak kamar serta dihuni banyak kerabat – karena kemiskinan. “Mereka datang ke rumah sakit saat saturasi oksigennya mayoritas sudah di bawah 90,” kata pihak IDI dalam diskusi itu..
Jika karena enggan atau karena faktor kurang memahami gejala Covid-19, maka komunikasi ke publik oleh Puskesmas, atau satgas tingkat kelurahan perlu lebih gencar. Sebagian warga memahami infeksi Covid-19 sebagai gejala tipus, batuk dan pilek, atau flu biasa Jika warga juga paham menangani pasien Covid-19, korban seperti Isteri Hadiyanto bisa dikurangi. Penanganan di pusat isoman juga perlu lebih baik agar pencatatan kesembuhan dan kematian tidak menjadi dark numbers.