Ada paparan menarik dari Board of Desantara Foundation Muhammad Nurkhoiron. Dalam upaya memerangi dan menangkal konten atau kabar palsu alias hoaks ada satu inspirasi yang bisa kita pelajari dari negara Jerman.
“Jerman telah menerapkan satu perundangan bernama Network Enforcement Law atau Hukum Penegakan Jaringan (NetzDG) sejak 1 Oktober 2017,” kata Nurkhoiron saat menjadi narasumber dalam webinar literasi digital bertajuk “Strategi Menangkal Konten Hoaks” yang digelar Kementerian Kominfo dan Debindo untuk warga Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah, Jumat (30/7/2021).
Nurkhoiron menuturkan, aturan itu mewajibkan platform-platform media sosial yang memiliki lebih dari 2 juta pengguna terdaftar di Jerman, untuk menghapus secara lokal konten yang ilegal. Baik video, foto, postingan atau komentar hanya dalam waktu 24 jam setelah adanya pengaduan dari masyarakat.
“Platform media sosial juga mesti mengadopsi prosedur pengaduan yang transparan dan efektif terhadap pengaduan konten yang melanggar KUHP Jerman, lalu menghapus atau memblokir konten yang diadukan,” kata Nurkhoiron.
Penyedia platform media sosial juga wajib melaporkan secara berkala penanganan yang dilakukan kepada otoritas berwenang setiap dua tahun sekali. Laporan ini memberikan data tentang organisasi dan prosedur, terkait volume keluhan dan volume konten yang dihapus.
“Bahkan, jika penyedia platform gagal melakukan kewajibannya, misal tak segera menghapus konten ilegal yang beredar di platformnya padahal sudah ada aduan masyarakat, maka akan dikenai sanksi administratif cukup berat berupa denda sebesar 50 juta euro,” ujarnya.
Nurkhoiron menambahkan, memang aturan NetzDG Jerman itu tak menyebut secara spesifik pada fake news atau berita hoaks. Namun menyeluruh pada berbagai konten ilegal yang diatur dalam KUHP Jerman terkait disinformasi.
Belajar dari aksi yang dilakukan Pemerintah Jerman itu, lanjut Nurkhoiron, pemerintah Indonesia mestinya bisa lebih berperan dalam mengoptimalkan upaya menangkal hoaks.
“Misalnya dengan penguatan kebijakan mulai dari UU ITE, penghapusan konten yang menyinggung diskriminasi, ras, etnis, dan melanggar HAM,” tutur Nurkhoiron, yang mantan komisioner Komnas HAM ini.
Selain itu, Indonesia bisa juga merancang ketentuan lebih ketat dan efektif mengenai regulasi konten dan tentu saja pemerintah dengan kewenangannya mendorong adanya pertanggungjawaban penyedia platform.
Upaya menangkal hoaks oleh pengguna bisa dilakukan dengan cara hanya menebarkan konten positif dan nilai nilai sosial. “Pengguna juga dapat menangkal hoaks dengan memanfaatkan internet untuk berbicara, berinovasi, sharing, memilih, dan membangun jejaring kepercayaan (trust),” tukas Nurkhoiron.
Seluruh upaya menangkal hoaks itu dapat ditunjang dengan memperkuat literasi digital, memahami tanggung jawab sosial saat memakai media digital, dan membudayakan tidak gegabah saat akses internet.
Kepala Kantor Kemenag Karanganyar H. Wiharso dalam kesempatan itu mengatakan, satu cara ampuh menangkal hoaks adalah dengan sikap tidak mudah terprovokasi.
“Jangan mudah percaya berita dan informasi, periksa dulu kredibilitas sumber informasinya juga validitas kontennya,” tuturnya.
Wiharso mengajak masyarakat tak malas membandingkan berita satu sumber dan lainnya. “Carilah informasi pembanding di media terpercaya dan jangan sekali-kali share jika informasi itu menyesatkan dan berisi provokasi,” ujarnya.
Webinar juga menghadirkan narasumber lain yakni dosen Program Studi Akidah dan Filsafat Islam, Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Waryani Fajar Riyanto dan dosen Sosiologi Fisip UNS Akhmad Ramdhon.