Salah satu fenomena yang laik dicermati terkait perkembangan bidang keagamaan dan dunia digital saat ini, tak lain munculnya fenomena cyberreligion. Itulah pemantik diskusi yang dilontarkan oleh dosen DKV Universitas Sahid Surakarta, Ahmad Khoirul Anwar, dalam webinar literasi digital yang digelar untuk warga Kabupaten Pemalang, Selasa (3/8/2021).
Fenomena cyberreligion, kata Khoirul, dilatari oleh masyarakat digital yang lahir dari proses perkembangan teknologi informasi dan akhirnya membentuk dunia baru atau komunitas baru, yakni antara dunia nyata dan dunia maya (cyber).
Cyberreligion tersebut menggambarkan tentang beralihnya fungsi guru spiritual yang kini tergantikan dengan sosok virtual dan lahir istilah cyberreligion sebagai pengetahuan tentang agama yang disebarluaskan melalui media online atau dunia maya.
“Kegiatan keagamaan di dunia maya marak dilakukan di Indonesia. Mereka mempelajari agama di internet yang menyediakan materi melimpah,” kata Khoirul dalam webinar gelaran Kementerian Kominfo yang bertajuk “Dalami Agama di Dunia Maya” itu.
Khoirul menambahkan, di dunia maya, para siswa bebas memilih materi keagamaan yang mereka sukai. Juga, mendengarkan tausiyah dari ustad idola masing-masing. Ada kecenderungan, para siswa ini menjadikan media sosial sebagai sumber pembelajaran agama alternatif.
Salah satu yang cukup digemari, misalnya, aktivitas berselancar “mengaji” agama di internet. Fenomena ini menandakan dominasi lembaga agama, baik individu maupun institusi, mulai tergeser oleh keberadaan internet. Asumsi ini, lanjut Khoirul, didasari oleh banyaknya remaja pengguna internet.
“Cyberreligion yang melembaga di dunia maya ini memang menawarkan sesuatu yang lebih praktis dan cepat, meski tidak menjanjikan hasil yang maksimal terhadap pemahaman kontennya,” ujar Khoirul.
Khoirul lalu menguraikan sisi negatif dan positif mendalami agama di dunia maya itu. Dari sisi negatif, hal itu akan menciptakan suatu kebergantungan pada media sosial dan fenomena cyberreligion akan membentuk identitas keberagamaan.
“Mendalami agama dari dunia maya membuat pola belajar tidak sistematis. Karena tidak adanya guru, maka dimungkinkan kesalahpahaman jadi lebih banyak,” kata Khoirul. Selain itu, sisi negatif dari metode belajar agama dari dunia maya, masih menurut Khoirul, juga lebih potensial terjebak dengan fitnah-fitnah yang lebih banyak.
Belajar agama secara langsung, selain dapat bertemu dengan orang-orang saleh, juga bisa belajar secara sistematis, misalnya mengkaji satu kitab hingga selesai. Sedangkan ketika belajar agama dari dunia maya, selain cenderung tidak sistematis, siswa tidak akan mendapatkan ilmu yang lengkap, terstruktur, karena tidak memulai dari dasar dan bisa jadi malah kebingungan yang berdampak pada kebosanan.
Namun, Ahmad Khoirul mengatakan, selain sisi negatif, ada pula sisi positif mendalami agama di dunia maya. Salah satunya, ada pergeseran budaya mengaji menjadi mengaji online.
“Siswa juga menjadi punya pilihan sikap menerima atau menolak dengan adanya perubahan arus media informasi yang cepat,” kata dia.
Tak hanya itu. Dari dunia maya, siswa juga bisa menemukan banyak penceramah sebagai alernatif dengan berbagai materi menarik. Akses dunia maya yang bebas dan luas bisa membuat lebih banyak orang belajar agama.
“Mendalami agama dari dunia maya juga sangat membantu mereka yang tak bisa atau terbatas hadir dalam forum-forum kajian,” imbuh Khoirul.
Narasumber lain dalam webinar, Board of Desantara Foundation Muhammad Nurkhoiron mengatakan, belajar agama membutuhkan kesabaran waktu yang panjang dan laku spiritual. “Ilmu dan perilaku dalam mempelajari agama merupakan dua hal yang tak boleh dipisahkan,” ujarnya.
Pembelajar ilmu keagamaan pun, lanjut Nurkhoiron, dituntut menjadi pendengar yang baik, tidak boleh membantah, melainkan terus belajar dan belajar. Mereka juga dituntut bersikap hormat pada guru agama/ulama masing-masing.
“Di era digital ini, belajar dari internet memang sumber materinya melimpah, namun seringkali anonim atau sulit diketahui keahliannya atau asal usulnya,” ujar mantan komisioner Komnas HAM ini.
Selain itu, sambung Nurkhoiron, jika belajar agama dari internet, tidak ada tuntutan laku spiritual. Sehingga, agama akhirnya jadi identitas saja atau sekadar gaya hidup.
Selain Khoirul dan Nurkhoiron, webinar juga menghadirkan dua narasumber lain: founder Istar Digital Marketing Center Isharsono dan Plt. Kepala Seksi Pendidikan Madrasah Kabupaten Pemalang Mahbub Nur Junaedi.