Media sosial menjadi sarana dalam mendistribusikan berbagai jenis konten. Bahkan materi keagamaan pun kini disampaikan menggunakan sarana media sosial dan platform digital lainnya. Penggunaan media digital sebagai sarana dakwah ini tak lain karena transformasi digital yang mengubah perilaku masyarakat. Ditambah dengan kondisi pandemi, penggunaan teknologi semakin meningkat.
Paralel dengan itu, pemerintah pun berupaya membangun sarana prasarana yang mendukung percepatan transformasi tersebut. Melalui program nasional literasi digital, pemerintah ingin membentuk masyarakat yang cakap dalam menggunakan dan memanfaatkan teknologi digital. Yakni dengan menguasai empat pilar: digital culture, digital skill, digital safety, dan digital ethics.
Salah satu bentuk program literasi digital itu adalah webinar yang diselenggarakan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) untuk masyarakat Kabupaten Pati, Jawa Tengah, Senin (2/8/2021). Diskusi dipandu oleh content creator Niken Pertiwi dengan empat narasumber: Abdulatif (dosen IAIN Salatiga), Bambang Pujiyono (dosen Universitas Budiluhur Jakarta), Amhal Kaefahmi (pengawas madrasah Kemenag Kota Semarang), dan Muhamad Siswanto (kepala MAN 4 Kebumen). Juga hadir sebagai key opinion leader adalah jurnalis Adew Wahyu.
Sebagai penghantar diskusi, Abdulatif menyinggung, pandemi telah mencederai berbagai sektor kehidupan hingga lumpuh dan mengubah perilaku masyarakat beralih menggunakan teknologi digital. Salah satu yang ikut terdampak adalah sektor keagamaan yang kini tak bisa menggelar kajian secara langsung dan beralih ke digital.
Kondisi ini secara tidak langsung memaksa masyarakat dan warganet untuk beradaptasi agar tetap mendalami ilmu agama. Mereka dituntut juga untuk menguasai sejumlah kompetensi dalam bermedia digital, sehingga dapat memaksimalkan potensi.
“Kompetensi yang harus dikuasai adalah kemampuan mengakses teknologi, lalu mampu menyeleksi, memahami, menganalisis, mengevaluasi, dan memverifikasi materi keagamaan yang ada di internet. Juga mampu bertanggung jawab dalam mendistribusikan konten. Selain itu juga mampu memproduksi, berpartisipasi dan berkolaborasi dalam membuat konten agama,” jelas Abdul.
Namun yang tidak kalah penting adalah menguasai kemampuan keamanan digital, karena ruang digital tidak hanya punya sisi positif tapi juga punya sisi negatif. Yakni, bagaimana memberikan pengamanan pada perangkat digital maupun identitas digital, aman dari jejak digital negatif, aman dari penipuan digital, juga bagaimana memahami keamanan digital untuk anak.
“Melindungi perangkat digital menggunakan password, fitur fingerprint dan face authentication. Melindungi identitas digital dengan menggunakan password kuat yang tidak mudah ditebak dan diganti secara berkala, tidak asal klik link, menghindari penggunaan wifi publik khususnya untuk transaksi, juga tidak mengumbar email dan data pribadi lainnya,” imbuh Abdul kepada hampir 200 peserta diskusi.
Ada beberapa alasan mengapa keamanan digital penting. Ruang digital sangat rawan disalahgunakan, terlebih jika itu menyangkut data pribadi, penyalahgunaan ini bisa memperburuk citra diri. Selain itu menjaga keamanan perangkat dan identitas digital dapat menghindarkan dari kehilangan data.
“Fenomena yang terjadi ada penipuan material menggunakan modus pengajian. Selain itu pengajian menjadi sarana terselubung disebarkannya ajaran intoleran. Ini yang harus diwaspadai bagi semuanya, termasuk anak muda yang lebih banyak menghabiskan waktu dengan memanfaatkan teknologi digital. Karenanya, peran orangtua penting untuk mendampingi dan memonitor anak saat menggunakan perangkat digital, orangtua juga harus mampu menjadi manajer teknologi di rumah, harus tau aplikasi yang edukatif dan memberikan dampak positif,” tutupnya.
Sementara itu Bambang Pujiyono menambahkan, selain kecakapan literasi digital, pengguna TIK juga harus menguasai kecakapan dasar berupa kecakapan memahami dan menggunakan piranti keras dan piranti lunak teknologi, mampu memanfaatkan mesin pencarian dengan optimal, cakap menggunakan media sosial, dan cakap dalam transaksi online.
Menurutnya, perkembangan media baru berimbas pada transformasi diskursus sosial keagamaan, terutama kaitannya dengan penyebaran paham keagamaan di media sosial. Selain itu tumbuhnya media baru juga memicu lahirnya otoritas keagamaan baru yang menggeser otoritas keagamaan tradisional yang biasanya melembaga di majelis taklim, madrasah, dan pondok pesantren.
“Media mengambil alih peran dalam menginformasikan nilai-nilai agama. Hal ini kaitannya dengan konten digital di mana kita bisa mengisi ruang digital dengan materi agama yang dikemas secara baik. Konten digital dari sisi manfaat dapat memberikan informasi dan edukasi serta menginternalisasi nilai agama. Juga dengan tujuan mempersonalisasi nilai agama, memudahkan interaksi dengan cepat tanpa sekat ruang dan waktu, juga disampaikan dengan menyenangkan,” papar Bambang.
Membuat konten agama perlu dukungan dan audio visual agar warganet tertarik, mudah memahami nilai agama, mendapatkan respon. Namun konten juga harus disampaikan dengan cara yang mulia, berisi kebajikan, kejelasan informasi dan memiliki kualitas yang kredibel.
“Media maya menjadi sarana kreatif untuk mengemas pesan-pesan toleran yang selama ini dianggap sulit untuk dicerna. Pelibatan aktor di luar komunitas keagamaan juga diperlukan untuk menarik lebih banyak audiens, serta menggalakkan ajaran toleransi beragama di media sosial,” tutup Bambang.