Setidaknya dua tahun belakangan, makin sering kawan atau kolega kita mengirim pesan WhatssApps (WA) atau ‘pengumuman’ di facebook, “Maaf akun facebook saya di-hacked. Kalau ada yang menggunakan akun dan foto profil untuk sebar gambar tak senonoh atau meminta sesuatu, itu bukan saya”. Begitu juga di aplikasi WA. Modusnya sama: meretas nomor WA, dipakai untuk melakukan kejahatan penipuan online. Mengapa hal itu kini mudah terjadi?
“Belum kuat kesadaran dan kecakapan literasi digital dari warganet dan pemakai ponsel pintar untuk melindungi data pribadi di ponsel dari ancaman penjahat online yang setiap saat mengancam,” ungkap Tresno Sakti Herwanto, dosen Fisip Universitas Parahyangan Bandung, saat tampil mengawali webinar bertajuk ”Mengenal Pengaturan Proteksi Data pada Era Digital” untuk warga Kabupaten Sragen, Jawa Tengah, 28 Juni lalu.
Pemicunya terkadang diawali dari hal sepele. Misal, ada ibu-ibu mengantar anak sekolah hari pertama, berfoto selfie lalu diposting di Instagram. Tampak mobil baru dengan plat nomor polisinya. Malah terkadang dipamerin alamat dan share loc-nya. Atau, ada yang iseng posting membandingkan foto KTP dengan foto zaman muda, gantengan mana? “Nah, perilaku dunia nyata di ranah publik yang didigitalkan ini datanya nyangkut. Data pribadi itulah yang jadi pintu masuk para hacker masuk untuk ngerjain kita, sekaligus pintu masuk kejahatan online,” ujar Sakti, sapaan karib Ketua Program Studi Administrasi Publik UI itu
Hal lain, semisal kita curhat di ruang publik, “Aaah, utangku banyak nih.” Bisa jadi, itu dijadikan bahan bagi penjahat fintech untuk menawari pinjaman online abal-abal. Mereka nawari kredit mudah dan cepat dengan syarat cuma kirim KTP, lalu minta data pribadi yang krusial.
“Bukannya dapat kredit cepat, malah bisa-bisa akun bank kita dikerjai. Sudah banyak kasus begitu. Jangan mudah percaya dan gampang berbagi data pribadi seperti nama, alamat, nama ibu kandung, itu properti penting untuk dijaga di zaman sekarang, di era digital,” ujar Sakti, tegas.
Dalam webinar yang merupakan bagian dari program nasional literasi digital Kementerian Komunikasi dan Informafika (Kominfo) itu, Sakti ditemani narasumber lain: M. Taufik Syaputra (konsultan digital safety dari Kaizen Room), Adhi Wibowo (praktisi pendidikan dan digital dari Yogyakarta), Djaka Dwiandi Purwaningtijasa (digital graphic dan fotografer) serta Nanda Chandra musisi yang tampil sebagai key opinion leader. Dimoderatori oleh Rara Tanjung, webinar ini diikuti secara daring oleh ratusan peserta yang antara lain terdiri dari para guru dan siswa berbagai sekolah di seantero Sragen.
Makin pentingnya menjaga data pribadi di era digital diungkap oleh Adhi Wibowo, pendidik dan praktisi digital skill dari Yogyakarta. “Jangankan data pribadi kita yang personal, pada Mei 2020 kita dikejutkan dengan diretasnya data digital customer Tokopedia yang membuat 91 juta data pengguna Toped bocor.”
Meski kesannya cuma nama, alamat email hingga nomor hape, Sakti menegaskan, itu properti yang sangat berharga. “Jangan pikir keuntungan langsung tidak ada buat peretasnya. Data itu bisa dijual peretas ke pasar darkweb, bisa laku USD 5,000 alias Rp 70 juta. Peretas tahu persis data itu bisa dijual, karena dicari oleh para pelaku penipuan dan ragam kejahatan online. Jadi, data digital pribadi itu harta karun baru masa datang, sehingga harus betul-betul dijaga,” pesan Adhi.
Tak hanya itu, Adhi mengutip data International Business Machines Corporation (IBM) tahun 2020. Kerugian yang timbul akibat kebocoran data digital pribadi selama setahun saja mencapai USD 3,86 miliar atau sekira Rp 44 triliun. “Ini bukan angka yang main-main lagi,” ungkap Adhi serius.
Satu contoh kasus gugatan kerugian kebocoran data pribadi dicatat Adhi. Yakni ketika Youtuber Deny Siregar (DS) menggugat Telkomsel belum lama ini. “Cukup heboh. DS menggugat Telkomsel karena merasa ada pegawai Telkom yang men-share data pribadi sampai share loc alamat rumah. DS merasa keluarganya menjadi terancam keselamatannya ketika pegawai Telkomsel mentweet alamatnya di tweeter, sementara DS sangat menjaga kerahasiaan itu sebagai wilayah privat yang tak boleh diumbar. Itu kasus yang mesti jadi kehati-hatian kita bersama,” pesan Adhi.
Lantas, bagaimana menjaga kerahasiaan data pribadi kita?
Taufik Syaputra dari Kaizen Room mengurai jawaban. Kata dia, ingat, di balik sosok ikon avatarnya, ada pribadi orang nyata yang mesti dijaga privasi dan keselamatan beragam properti digitalnya. Biasakan untuk tidak membagi data nama, alamat, alamat email ke sembarang link dan platform yang tidak kita kenal track recordnya. Hapus pertemanan dengan orang yang tidak begitu kita kenal, buat password yang unik, dan biasakan ganti password teratur.
“Intinya, kelola perilaku publik kita di medsos. Jaga emosi saat komen dan bikin status. Nama baik kita di medsos lebih menjaga keamanan digital kita dari gangguan orang iseng yang berniat jahat,” ujar Taufik menutup diskusi.