Minggu, November 17, 2024

Ujaran kebencian bisa terjadi di mana-mana, jangan terprovokasi!

Must read

Ujaran kebencian (hate speech) bisa berarti tindakan komunikasi yang dilakukan oleh individu atau kelompok dalam bentuk provokasi, hasutan ataupun hinaan kepada individu atau kelompok yang lain. Ujaran kebencian biasanya menyangkut aspek ras, warna kulit, gender, kecacatan (kaum difabel), orientasi seksual, kewarganegaraan, agama dan lain-lain.

”Ujaran kebencian bisa dilakukan melalui konten media sosial, khotbah, media massa, orasi, pamflet, spanduk ataupun banner,” ujar Tb. Ai Munandar pada webinar literasi digital dengan tema ”Melawan Ujaran Kebencian di Dunia Maya”, yang digelar Kementerian Kominfo untuk masyarakat Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah, Jumat (6/8/2021).

Ai Munandar mengatakan, di era digital ujaran kebencian lebih sering terjadi di media sosial. Hai itu mengingat kini sudah 200 juta lebih masyarakat Indonesia telah terhubung internet dan 170 juta di antaranya pengguna aktif media sosial. Kondisi ini makin memperbesar peluang terjadi tindak kejahatan, khususnya ujaran kebencian, yang dilakukan masyarakat melalui media digital.

Urgensi literasi digital, lanjut Munandar, salah satunya dimaksudkan agar masyarakat mampu membedakan mana informasi yang benar dan yang tidak benar (hoaks), mana yang masuk golongan ujaran kebencian maupun yang bukan. Namun, selain di media sosial, sejatinya ujaran kebencian juga terjadi di media massa seperti koran, majalah atau tabloid.

“Tak jarang, ujaran kebencian juga bisa kita temukan pada spanduk, banner, baliho, stiker, dan sebagainya, terutama ketika menjelang pemilihan umum maupun musim pemilihan kepala daerah,” ungkap Munandar di depan 200-an partisipan webinar.

Menurut Munandar, ujaran kebencian secara umum dilakukan karena dua hal. Pertama oleh perorangan atau individu yang dilakukan dengan penuh kesadaran, dan yang kedua ujaran kebencian yang memang dilakukan tanpa kesadaran, misalnya terjadinya peretasan (hack) atas akun oleh pihak lain.

Untuk itu, Munandar berpesan agar pengguna media sosial lebih berhati-hati dan waspada dalam menjaga akun yang dimiliki. Tak jarang peretasan dan penguasaan akun media sosial dimaksudkan untuk menyebarkan berita bohong atau hoaks, bahkan dipakai untuk memproduksi konten ujaran kebencian.

“Banyak kasus ujaran kebencian yang beredar di media sosial, yang tidak diketahui dengan jelas dari mana asal-usulnya, namun tiba-tiba saja sudah menyebar begitu cepat,” tegas dekan FTI Unsera Banten itu.

Para pengguna media sosial diharapkan juga lebih berhati-hati, utamanya saat mendapatkan berita atau informasi terkait ujaran kebencian. Selain tidak langsung meneruskan atau menyebarkannya, klarifikasi kepada pihak pembuat maupun sikap kritis juga mesti dilakukan mengingat ujaran kebencian juga merupakan tindak kejahatan yang telah diatur oleh UU ITE.

Dalam UU ITE Pasal 28 ayat 2 disebutkan: “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA)”

Konsekuensi atas tindakan tersebut, kata Munandar, dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak satu miliar rupiah. Hal itu sebagaimana tercantum dalam pasal 45A UU ITE Nomor 19 Tahun 2016 yang merupakan perubahan atas UU ITE Nomor 11 Tahun 2008.

Nara sumber lain, fasilitator Kaizen Room Muhammad Taufiq Saputra menyatakan, era kebebasan berekspresi juga melanda jagad maya media sosial. Setiap orang bebas berbicara apa saja menurut keinginannya. Namun, ada norma-norma yang tetap harus diperhatikan.

Dalam menggunakan media sosial, menurut Taufik, sebetulnya banyak masyarakat kita belum paham batasan-batasan berekspresi. Sehingga, banyak di antaranya yang melewati batas dan terjerumus pada tindak kejahatan pencemaran nama baik, ujaran kebencian, fitnah, dan lainnya.

”Inilah yang harus kita pelajari dan pahami bersama-sama,” tegas Taufik.
Media sosial, lanjut Taufiq, sesungguhnya mempunyai dampak positif dan dampak negatif. Hanya saja, yang perlu diingat dalam bermedia sosial, mampu membedakan antara yang positif dan negatif untuk kemudian hanya mengambil sisi positifnya serta membuang sisi negatifnya.

Sisi positif media sosial, menurut Taufiq, di antaranya mudah berinteraksi dengan banyak orang, memperluas pergaulan, jarak dan waktu bukan lagi masalah, dan cepat mendapatkan informasi apa saja. Sisi negatifnya, misal banyaknya penipuan, maraknya informasi ujaran kebencian, berita hoaks, dan sebagainya.

”Dengan melihat dampak positif dan dampak negatifnya bermedia sosial, kita harus tahu bagaimana memilah informasi yang kita terima, sehingga tidak terjebak dalam masalah ujaran kebencian,” pungkas praktisi manajemen akunting dan public speaking itu.

Webinar yang dipandu oleh moderator Lala Nabila itu juga menghadirkan Muawanatul Badriyah (Kepala MTsN 5 Sragen), Bahren Ahmadi (Pengawas Sekolah Kementerian Agama Kabupaten Sukoharjo), dan Andry Wulansari selaku key opinion leader.

- Advertisement -

More articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -

Latest article