Sabtu, Desember 21, 2024

Jaga jempol kita untuk merawat toleransi dan demokrasi

Must read

Kita semua sudah tahu. Kecerewetan dan galaknya aksi jempol warganet kita dalam beraksi di media sosial sudah terkenal di dunia maya. Tak aneh kalau belum lama dinilai oleh sebuah riset sebagai warganet paling tidak sopan, tidak lantas membuat warganet kita berbenah. Kini, penyebab ketidaksopanan itu malah terungkap, yakni riset lain yang menyurvei 70 negara dalam hal kemampuan literasi dan daya serap baca bukunya. Apa hasil risetnya?

”Kita berada di rangking 62 dari 70 negara alias 10 negara terbawah dalam literasi, alias males baca buku. Jujur, ini memprihatinkan, tapi memang itulah realita kita,” ujar Sigit Rahmanto, jurnalis Radar Jateng, saat tampil dalam webinar literasi digital bertajuk ”Media Sosial sebagai Sarana Meningkatkan Toleransi dan Demokrasi” yang digelar Kementerian Kominfo dalam rangka Program Indonesia Makin Cakap Digital untuk masyarakat Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah, 28 Juni lalu.

Warganet kita memang suka mencari sumber informasi yang cepat dan mudah. Tak heran, menurut survei katadata, di era digital ini warganet kita menjadikan tiga platform media sosial sebagai sumber informasi. Katadata menyebut, dari 2019 s.d. 2021 mayoritas warganet kita mencari informasi dengan merujuk Facebook 82,2%, disusul WhatsApp 56,6%, dan Istagram 29,4%.

Yang juga menarik, 30 s.d. 60% mengaku sudah terpapar hoaks, dan uniknya hanya 21 s.d. 36% yang menyadari kalau terpapar dan tidak mempercayai info hoaks tersebut. Hal itu juga dialami di perkotaan, yang notabene akses internetnya bagus dan pendidikan juga mencukupi.

”Umumnya mereka menjadi korban hoaks karena informasi berasal dari teman atau sumber yang mereka percaya. Tapi tetap, tradisi ricek dan mencari sumber pembanding informasi belum menjadi kebiasaan warganet kita dalam menilai kebenaran suatu informasi,” kata Achmad Uzair, Ph.D, staf Kepala BPIP (Badan Pembinaan Ideologi Pancasila).

Sigit dan Achmad Uzair tampil dipandu moderator Subhki Abdul bersama dua pemateri lainnya, yakni F. Puji Susanti dari Kaizen Room dan Titok Haryanto dari LSM Alterasi Indonesia Yogyakarta, serta Hilyani Hendranto yang bertindak sebagai key opinion leader.

Achmad Uzair menambahkan, pada era digital yang tanpa batas wilayah dan akses informasi mudah didapat dengan jempol ini, telah melahirkan kondisi yang disebut anarchy digital. Kini, tanpa legitimasi gelar akademik, banyak orang mengaku ahli dan sederajat, merasa menguasai banyak ilmu dan punya otoritas terhadap suatu masalah, bahkan bisa saling menjatuhkan. Bisa saling kuat beradu argumen, saling melawan dalam berdebat suatu topik.

”Meskipun demikian, etika dunia medsos lebih menghormati bahwa perang argumen yang sehat tetap mesti didasarkan kejujuran, literasi yang akurat, dan niat yang luhur dan mulia. Tidak asal beda dan keras nadanya. Tanpa data akurat, jangan mengembangkan budaya keyboard courage, yang hanya keras dan saling membunuh nama baik di medsos. Sikap tersebut hanya buruk buat citra jejak digital kita nantinya,” pesan Achmad serius.

Yang juga penting dijaga untuk merawat ke-Indonesiaan kita di dunia maya, adalah menjaga toleransi dan membangun budaya demokrasi. Untuk itu, terus jaga kebersamaan dan kebhinekaan kita. Selain itu, kolaborasi warga bangsa yang hidup di media sosial dan dunia nyata mesti menjaga kompetensinya dalam memproduksi dan menyebar konten-konten melalui media sosial. ”Jaga jempol kita dalam menciptakan konten untuk merawat toleransi dan membangun bangunan demokrasi kita. Juga, jaga jejak digital yang terawat positif,” seru Titok Haryanto dari Literasi Indonesia Yogyakarta.

So? Menjadi tugas kita bersama, bagaimana media sosial di era digital mengambil peran yang mestinya dilakukan secara kolaboratif oleh lintas atau beragam kelompok masyarakat. Mesti ada upaya bersama untuk saling menjaga toleransi agar tidak saling melontarkan komentar negatif dan tidak membanjiri konten hoaks dan menyebar kebencian.

”Mari terus menjaga media sosial dengan konten-konten yang positif dan bermanfaat buat masyarakat lebih luas. Stop hoaks cukup di ponsel Anda, dan hanya sebarkan konten yang menginspirasi buat banyak orang di medsos,” pungkas Sigit Rahmanto, mewanti-wanti.

- Advertisement -

More articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -

Latest article