Sabtu, Desember 21, 2024

Menjaga agar jempol kita berbudaya di dua dunia

Must read

Hadirnya teknologi internet sejak tahun 1980-an disadari makin mengubah perilaku hidup manusia dalam berbudaya. Baik itu berkomunikasi, berkarya, beraktivitas bisnis, mencari dan memproduksi informasi, lalu menyebarkannya.

Pasalnya, sejak ditemukan dan dikembangkan, teknologi internet berkembang cepat dan berpengaruh terhadap adab, perilaku kehidupan sehari-hari hingga kini makin terasa begitu banyak orang yang perilaku hidupnya kian tergantung pada peran teknologi internet.

“Data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet (APJI) dalam riset tahun 2019 s.d 2020 saja, warganet kita sudah mencapai 73,7 persen dari populasi atau sekitar 196,7 juta warga yang aktif sebagai pengguna. Bahkan setiap hari mereka mengakses internet menghabiskan waktu sampai 3,5 sd 8 jam, baik lewat ponsel (63%), desktop komputer (18%) hingga tablet (8%). Jelas, ini besar pengaruhnya dalam kehidupan manusia, juga dalam perilaku budayanya,” ujar Ahmad Lutfi, direktur Pesantren Afaada Boyolali, saat mengawali webinar literasi digital yang digelar Kementerian Kominfo untuk masyarakat Kabupaten Kudus, Jateng, 23 Juni lalu.

Dulu di zaman sebelum tiba era digital, pers hadir menjadi satu-satunya sumber produksi informasi. Itu pun produk informasinya masih ada batasan dan tidak bisa direspons langsung. Kadang baru ditanggapi sehari atau seminggu setelah informasi itu disampaikan lewat media cetak atau televisi.

“Kini, media sosial di era digital atau internet bisa ditanggapi real time dan langsung dikomentari, bahkan jadi diskusi publik. Hanya etika dan tata krama digital yang bisa menstop diskusi di ruang publik dan media digital saat ini. Karena teknologi internet saat ini membuat manusia bisa menjadi produsen dan pengguna informasi sekaligus,” ujar Ahmad Lutfi.

Perkembangan teknologi internet telah membuat manusia secara sadar menciptakan ruang baru, yakni ruang digital. Ruang digital yang tampil secara artifisial telah memindahkan nyaris semua aktivitas manusia di dunia nyata ke dunia baru, dunia maya. Kini, dengan internet manusia bisa mencari informasi, berkomunikasi secara langsung atau bersurat elektrorik lebih cepat, mencetak media massa dan beredar lebih cepat, lebih luas, malah tanpa batas wilayah lagi.

“Dunia maya sekarang seolah menjadi substitusi artifisial yang hadir secara dekat, berdampingan dengan tata krama di dunia nyata. Ini yang oleh banyak warganet belum disadari. Terjadinya migrasi dari tata pergaulan dunia nyata ke tata pergaulan dunia maya sebenarnya etikanya sama. Dampak sosialnya juga sama, tapi banyak warganet yang merasa berbeda hingga sering menimbulkan gegar budaya dalam kehidupan di dunia nyata. Banyak warganet yang di dunia nyata bisa sopan dan menjaga tata krama, tapi ketika hadir di dunia maya malah emosional dan kasar, tak bisa menjaga ucapan dari yang ditulisnya di dunia maya. Ini yang mesti diperbaiki,” ujar Lutfi.

Sementara itu, mengutip Sabinus Bora Hanggawuwali, dosen dan peneliti dari UGM, dunia maya mempunyai risiko yang sama pentingnya untuk dijaga. Di dunia maya, dalam berperilaku, mengunggah konten atau statemen akan meninggalkan jejak digital. Kalau positif, akan meninggalkan citra dan nama baik yang bagus untuk kita di dunia nyata. “Tapi kalau jejak digital yang kita tinggal di dunia maya negatif, penuh dengan amarah dan tidak bertoleransi pada tetangga, suku, agama, dan lain-lain, itu juga akan berdampak buruk buat kita. Dan, jejak digital itu tak bisa dihapus. Ia akan melekat pada citra diri kita di dunia nyata. Kita sendiri yang rugi,” pesan Sabinus.

Ahmad Lutfi dan Sabinus Bora tampil dalam webinar literasi digital dengan topik “Manusia Berkebudayaan dalam Pergaulan Dunia Maya”, yang dipandu oleh moderator Nindy Gita. Selain mereka, tampil pula pembicara lain: M. Taufik Saputra (fasilitator dari Kaizen Room) dan Gilang Ramado (CEO CV Tripsona Indonesia), serta Suci Patia, entertainer yang tampil sebagai key opinion leader.

Untuk menjaga keseimbangan tata krama dan jejak digital kita di dua dunia yang berdampingan, kuncinya adalah jaga betul jempol kita agar tetap beretika. “Biasakan pikir dan jangan emosi sebelum posting info yang kita dapat. Pertimbangkan ada manfaatnya atau justru mudharat sharing info kita itu. Jejak digital yang baik akan berdampak baik, yang buruk akan bikin rusak nama dan karier kita. Jadi, jaga betul tingkah jempol kita. Tetap berbudaya dan beretika di dunia maya, karena runyam dampaknya di dunia nyata kalau sampai terlena,” pesan Sabinus, menutup diskusi.

- Advertisement -

More articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -

Latest article