Dosen UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Dr. Anis Mashduqi menyoroti fenomena infodemik yang bisa menjadi ancaman nyata bagi masyarakat luas saat terjadi pandemi Covid-19. Infodemik sendiri semacam hoaks menyesatkan saat pandemi.
“Perlu diketahui, infodemik yang berupa penyebaran informasi yang salah atau disinformasi juga rumor selama keadaan darurat kesehatan itu dapat menghambat penanganan pandemi,” kata Anis saat menjadi pembicara dalam webinar literasi digital bertajuk “Infodemik bagi Pencegahan Covid-19” yang digelar Kementerian Kominfo dan Debindo untuk warga Kabupaten Tegal, Jawa Tengah, Kamis (5/8/2021).
Anis membeberkan, ada hubungan infodemik dan perilaku stigmatis di era digital ini. Salah satunya menggunakan teknologi digital yang tidak tepat, juga dapat meningkatkan infodemik secara algoritmik.
Ia mengungkap, berdasarkan hasil penelitian terhadap Google Search, ditemukan bahwa publik lebih suka menggunakan istilah-istilah yang mengandung stigma negatif.
“Misalnya saja Wuhan Pneumonia dengan Gini Coefficient (G) 0.73, Wuhan Coronavirus (G) 0.60, China Coronavirus G=0.52, China Pneumonia G= 0.59 dan Chinese Coronavirus G= 0.50,” ujar Anis.
Sedangkan Gini Coefficient dari istilah-istilah yang resmi/official dalam dunia kesehatan, kata Anis, indeksnya sangat kecil. Misalnya Covid-19 G =0.44 atau SARS Cov 26 G=0.42.
“Perilaku berdigital menggunakan search engine tersebut tak bisa dilepaskan dengan stigma terhadap orang China,” ujarnya.
Untuk melawan infodemik ini, lanjut Anis, WHO telah memberi panduan agar masyarakat terhidar dari fenomena menyesatkan itu. “Di antaranya, WHO telah menyediakan layanan informasi dengan platform EPI-WIN atau WHO Information Network for Epidemic,” terang Anis.
WHO, sambung Anis, juga bekerjasama dengan berbagai platform media sosial mulai dari Facebook,Twiter, Tencent, Pinterest hingga Tik Tok serta berbagai media massa di China.
Anis menyebut, akhirnya Facebook dan Twiter pun kini cenderung melakukan verifikasi ketat dengan informasi yang berpotensi menjadi infodemik.
Hal yang bisa dilakukan pengguna media digital di Tanah Air untuk melawan infodemik itu di antaranya jika mendapatkan berita atau informasi terkait Covid-19 dengan aktif segera cek lebih dulu sumber berita itu dan ketahui siapa yang menyebar informasi. Juga, dari mana mendapatkannya meskipun mereka adalah anggota keluarga sendiri.
“Periksa juga tanggal terbit untuk memastikan informasi tersebut relevan dan terbaru serta apa bukti-bukti pendukung untuk memastikan informasi itu akurat soal Covid-19,” katanya.
Selain itu, disarankan pengguna media digital menghindari kebiasaan hanya membaca judul berita, karena judul yang digunakan bisa bersifat provokatif dan sensasional. Dengan masifnya infodemik ini, ujar Anis, ia pun mengajak pengguna media digital turut mengenali bias pemikiran sendiri agar penilaian tetap objektif terhadap suatu informasi yang beredar.
Selanjutnya, pengguna media digital dianjurkan bisa melakukan cek ricek pula dengan platform pemeriksa fakta seperti International Fact-Checking Network untuk semakin memastikan informasi yang diterima bukanlah infodemik.
Narasumber lain webinar itu, praktisi IT Tommy Destryanto mengakui jika infodemik bisa menyebabkan kebingungan dan perilaku pengambilan risiko yang membahayakan keselamatan masyarakat di tengah pandemi Covid-19.
“Infodemik bisa menyebabkan hilangnya kepercayaan pada otoritas kesehatan sekaligus merusak respons kesehatan masyarakat,” tegas Tommy.
Webinar yang dipandu oleh moderator Bobby Aulia itu juga menghadirkan narasumber Syamsul Falah (dosen IBN Tegal) dan Yoshe Angela (social media specialist), serta Syafil Syaf selaku key opinion leader.