Meski tercatat sebagai negara dengan pengguna internet cukup besar, sayangnya warganet di Indonesia termasuk yang kurang sopan dalam bermedia sosial. Untuk itu, etika di dunia maya harus ditingkatkan mengingat semua pengguna media sosial mempunyai hak yang sama dalam berinternet.
”Dalam menggunakan media sosial, kita harus menjunjung tinggi nilai moral, etika, dan budaya. Artinya, komunikasi yang kita lakukan di dunia maya, seperti memposting konten-konten yang bersifat negatif, harus dihentikan,” tutur pengajar Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto Tobirin pada webinar literasi digital yang digelar Kementerian Kominfo untuk masyarakat Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, Rabu, (18/8/2021).
Diskusi virtual bertajuk ”Etika Dunia Internet: Jarimu Harimaumu” yang dipandu oleh moderator Amel Sannie itu, juga menampilkan narasumber Novita Sari (Aktivis Pemuda Lintas Iman), Agus Supriyo (CEO Founder Jelajah.live), Diasma Sandi Swandaru (Peneliti Pusat Studi Pancasila UGM), dan Stephanie Cecillia selaku key opinion leader.
Tobirin mengatakan, pola dan tingkah laku warganet dalam berinteraksi di media sosial merupakan cerminan kepribadian seseorang. Begitu pun ketika menerima informasi, sebaiknya ditelaah terlebih dahulu dan pastikan narasumbernya, kemudian periksa siapa yang memposting atau mengirim informasi tersebut.
”Kebiasaan yang sering terjadi di kalangan masyarakat pengguna media sosial, ketika mendapat informasi umumnya langsung di-share atau dikomentari tanpa mengetahui terlebih dahulu dari mana asal-usul informasi itu,” sebut Tobirin di depan hampir 200 peserta webinar.
Kemajuan teknologi digital, lanjut Tobirin, seharusnya tidak membuat kita makin mundur dalam berinteraksi di media sosial. Kini, saatnya untuk menikmati dan mempelajari perkembangan media digital untuk sesuatu yang lebih baik dan bermanfaat. Selain itu, internet juga harus mampu memberikan nilai ekonomi.
”Banyak yang bisa dilakukan dengan berinternet. Kehadiran internet, telah memicu lahirnya banyak perusahaan rintisan online atau startup. Hal ini tentu memberikan nilai tambah, dan secara ekonomi bisa menghasilkan pundi-pundi uang, sehingga mengurangi jumlah pengangguran,” ungkapnya.
Tobirin menegaskan, era digital dengan media sosialnya telah mengubah pola dan perilaku manusia. Dulu ketika orang belum mengenal media sosial, untuk menjual barang orang harus bertemu secara langsung (face to face), berbeda dengan sekarang yang cukup menggunakan media sosial.
Tobirin menambahkan, kegagalan manusia dalam beradaptasi maupun keterlambatan dalam mengantisipasi perkembangan dunia digital yang perkembangannya begitu cepat, akan memunculkan perilaku negatif yang meresahkan masyarakat. ”Ambil manfaat media sosial untuk kehidupan sehari-hari, jangan sampai jarimu menerkam kepalamu,” pungkas dosen Administrasi Publik di FISIP Unsoed itu.
Narasumber lain dalam webinar ini, aktivis pemuda lintas iman Novita Sari menyatakan, istilah ’jarimu harimaumu’ harus dimaknai sebagai simbol yang selalu diingat dan menjadi pedoman dalam bermedia sosial. Karena, dari jarimu itulah terletak etika dan moral yang harus dijunjung tinggi ketika berinteraksi di media sosial.
Novita menambahkan, hidup manusia kini tak bisa dipisahkan dengan teknologi. Ia sudah menjadi bagian dari kehidupan manusia. Di mana ada manusia, di situ juga pasti ada teknologi yang bisa dimanfaatkan untuk membantu manusia. Namun, dalam menggunakan teknologi hendaknya manusia selalu mendasarkan pada etika dan budaya.
”Sekarang ini banyak bermunculan website (situs) yang tidak ketahuan siapa pemiliknya. Bisa dipastikan website itu bodong, dan disinyalir hanya dibuat untuk tujuan memproduksi berita hoaks. Warganet harus jeli melihat informasi yang beredar. Jangan terjebak pada sesuatu yang tidak bermanfaat dan akhirnya dapat merugikan diri sendiri,” jelas Novita.
Dalam paparannya Novita juga menyinggung soal banyaknya hoaks dan penipuan yang melanda ruang digital. Menurutnya, agar terhindar dari hoaks ada baiknya selalu mengikuti isitilah apa yang saat ini sedang populer, yakni ’saring sebelum sharing’.
Terkait banyaknya konsumen yang merasa tertipu saat belanja barang online, yakni ketidaksesuaian antara barang yang dipesan dengan yang dikirim, bagi Novita hal itu masuk kategori kejahatan media internet yang sudah semestinya mendapat perhatian dari pihak berwenang.