Persoalan sopan dan beradab berdigital menjadi krusial manakala mayoritas masyarakat Indonesia (87,2 persen) mengakses internet untuk bermedia sosial. Selebihnya, mendapatkan informasi dan berita (69,9 persen), hiburan (62,13 persen), dan hanya 25,86 persen yang mengaku untuk kepentingan mengerjakan tugas sekolah.
Besarnya persentase masyarakat yang menggunakan internet untuk tujuan bermedia sosial memunculkan beberapa tantangan etis. Tantangan pertama muncul dari keragaman kompetensi setiap individu yang bertemu di ruang digital.
”Ada generation gap yang menunjukkan perbedaan perilaku antara native generation dan migrant generation dalam kecakapan digital,” ujar Amhal Kaefahmi pada webinar literasi digital bertajuk ”Sopan dan Beradab Berdigital di Masa Covid-19” yang digelar Kementerian Kominfo untuk warga masyarakat Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah, Kamis (5/8/2021).
Generasi tersebut, kata Amhal, juga berbeda budaya karena memiliki pengalaman etiket yang berbeda antara luring dan daring. Keragaman kecakapan digital dan budaya membawa konsekuensi perbedaan dalam berinteraksi, berpartisipasi, dan berkolaborasi di ruang digital.
Tantangan kedua, lanjut Amhal, adalah banyaknya konten negatif di media digital yang disikapi secara tidak sepantasnya oleh warganet Indonesia. ”Laporan Digital Incivility Index 2021 menempatkan Indonesia pada posisi paling rendah, yang artinya tingkat ketidaksopanan warganet Indonesia paling tinggi di kawasn Asia Tenggara,” jelas pengawas madrasah Kemenag Kota Semarang itu.
Terkait sopan dan beradab berdigital di masa pandemi, menurut Amhal, penting bagi kita untuk merenung tentang apakah saat berdigital telah mengedepankan kesantunan dan mengaktualisasikan diri sebagai orang yang beradab, terlebih saat pandemi Covid 19 belum reda.
”Kita semua perlu bermuhasabah, apakah informasi yang kita terima dan atau kita bagikan mengandung hoaks, ujaran kebencian, pornografi, perundungan, dan konten negatif lainnya?” ujar Amhal berkontemplasi.
Kepada ratusan peserta yang hadir dalam diskusi virtual itu Amhal mengingatkan bahwa dunia digital hanyalah alat yang apabila digunakan secara negatif maka akan jadi mudharat. Sebaliknya, jika digunakan untuk hal positif maka akan bermanfaat.
”Etika dalam bermedia digital sangat penting agar aktivitas dalam bermedia digital lebih nyaman dan menyenangkan. Etika di dunia maya harus sama dengan di dunia nyata. Yakni bijak dalam penggunaan kata, memakai bahasa yang baik dan positif, dan teliti dulu sebelum share,” pungkas Amhal.
Sesuai tema, Kepala MTsN 2 Kabupaten Pekalongan Imam Sayekti menjelaskan norma kesopanan sebagai serangkaian aturan mengenai tingkah laku yang bersumber dari adat-istiadat, budaya atau juga tradisi di suatu wilayah yang berkembang di dalam pergaulan anggota masyarakat serta dianggap sebagai tuntunan dalam berinteraksi antar sesama.
”Norma kesopanan atau juga sopan santun memiliki sifat relatif karena tiap lingkungan, tempat, serta waktu mempunyai kategori norma kesopanannya sendiri,” ungkap Imam.
Sanksi norma kesopanan menurut Imam, bisa berbeda-beda menurut waktu maupun tempat lokasinya. Meski begitu, pelanggar norma kesopanan umumnya diberi sanksi berupa celaan, kritik, bahkan dikucilkan dari pergaulan masyarakat setempat
Di ujung paparan Imam juga menjelaskan pengutamaan adab dalam proses pembelajaran antara murid dengan guru. Menurut Imam, adab adalah menjaga batas antara berlebihan dan meremehkan serta mengetahui bahaya pelanggaran. Keberhasilan seseorang biasanya ditentukan oleh adab yang dimiliki.
”Dalam tasawuf, adab merupakan keindahan dan kepatutan suatu urusan agama atau dunia. Kesemuanya itu dipengaruhi oleh tingkat pendidikan. Oleh karena itu pendidikan memiliki nilai kemanusiaan yang tinggi,” tegas Imam.
Webinar yang dipandu oleh moderator Rara Tanjung itu turut menghadirkan narasumber Suharti Mukhlis (LPPM UNU Yogyakarta), Sofyan Wijaya (Founder ATSoft CV Atsoft Teknologi Yogyakarta), dan News Anchor RCTI Shafinaz Nachiar selaku key opinion leader.