Kehidupan era digital mentransformasikan kehidupan nyata ke ruang digital yang tidak memiliki sekat. Setiap orang punya andil dan bebas berekspresi, akan tetapi tak sedikit ekspresi di dunia digital itu berakhir pada perundungan siber. Hal itu menjadi alasan mengapa setiap warga digital harus mempunyai wawasan literasi digital yang baik.
Menghadapi perundungan di ruang digital atau cyber bullying dibahas dalam webinar literasi digital yang diselenggarakan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) untuk masyarakat Kabupaten Pati, Jawa Tengah, Jumat (6/8/2021). Kegiatan virtual itu merupakan program yang tengah digarap pemerintah untuk meningkatkan kecakapan digital masyarakat dalam bingkai empat pilar: digital culture, digital ethics, digital skill, dan digital safety.
Sani Widowati (Princeton Bridge Year On-Site Director Indonesia) dalam paparannya mengatakan, literasi digital adalah kemampuan yang harus dikuasai untuk bisa berinteraksi di dunia digital dengan bijak. Kemampuan tersebut perlu diasah agar bisa beradaptasi di tengah budaya digital yang tidak bisa ditinggalkan.
Menyinggung tentang cyberbullying atau perundungan siber, Sani menjelaskan, akar dari perbuatan tersebut dapat berupa dorongan instingtif atau muncul dari dalam diri sendiri, atau dorongan stimulus karena faktor dari luar. Lebih fokus pada tindak kekerasan dari faktor stimulus, perundungan biasanya terjadi karena ketidakberdayaan orang di hadapan orang lain yang memiliki kuasa lebih kuat.
Misalnya, seorang pekerja yang dimarahi atasannya. Karena tidak bisa membalas, pekerja itu melampiaskan emosi yang ditahannya kepada orang lain yang dirasa lebih lemah. Dan, siklus ini akan berlangsung tanpa putus jika tidak ada kesadaran.
Dalam teori Exchange, Sani menyebutkan, jika hal itu terjadi di lingkungan keluarga, anak bisa menjadi korban yang akan meniru tindakan tersebut. Terlebih anak, khususnya yang masih usia dini, merupakan peniru yang cukup baik. Anak akan mengamati, meniru, dan memodifikasi perilaku tersebut. Apakah akan dilakukan kepada temannya di dunia nyata atau dilampiaskan ke ruang digital.
“Perundungan terjadi karena ketidakseimbangan kekuatan, dan di ruang digital sifat anonymous membuat orang merasa aman melakukan apa pun, termasuk perundungan,” tuturnya.
Mengutip data Kompas, 14 persen pelaku perundungan pernah menjadi korban. Jadi, harus lebih berhati-hati dalam menangani perundungan. Jangan membalas perundungan dengan merundung orang lain untuk memutus siklusnya. Untuk itu, sebagai orang dewasa harus introspeksi diri, apakah sudah memberi contoh yang baik. Sebab, bagaimanapun, lingkungan keluarga yang akan membentuk bagaimana perilaku dan karakter anak.
“Menghindari perundungan dapat dimulai dengan menanamkan nilai-nilai kemanusiaan. Menumbuhkan cinta kasih dan menghormati orang lain. Mengajarkan empati, bagaimana memposisikan diri di tempat orang lain. Bertoleransi dan saling menghargai adanya perbedaan, juga adil, bagaimana menempatkan diri sesuai porsinya,” jelas Sani di hadapan 600-an peserta diskusi.
Saat menghadapi korban perundungan, masih kata Sani, tunjukkanlah empati dengan tidak menjadikan korban sebagai korban lagi. Menanamkan rasa percaya diri pada anak bahwa yang terjadi bukan salah korban, dan kejadian itu bisa dilalui dengan baik. Lalu, menjadi pendengar yang sabar, penuh cinta kasih, karena tidak mudah bagi korban untuk bisa bercerita apa yang telah menimpanya. “Carilah bantuan profesional atau orang dekat, keluarga, guru atau penyedia jasa psikiater online. Kita juga bisa menawarkan solusi dengan persetujuan korban,” jelas Sani.
Redaktur Langgar.co Abdul Rohim menambahkan, perundungan bisa terjadi kepada siapa saja. Dan, mirisnya, secara tidak sadar sebenarnya kita juga melakukan perundungan. Dampak dari perundungan siber ini tidak hanya pada korban saja, tetapi juga pelakunya.
“Secara mental dan emosional mereka merasa kesal, malu, trauma sosial dan tidak suka bergaul, hingga depresi. Maka, untuk menghindari terjadinya perundungan, pemahaman internet perlu ditanamkan sejak dini. Penggunaan media digital harus diimbangi dengan aktivitas fisik agar bisa mengembangkan sisi emosional, juga mengurangi rasa depresi. Caranya dengan memanfaatkan ruang-ruang kultural, berinteraksi dengan kelompok sosial, komunitas edukasi dan ruang positif lainnya,” jelas Abdul.
Abdul menyebutkan ada dua konteks yang perlu ditekankan dalam perundungan siber. Yakni, literasi digital bagi orangtua dan menyadari pentingnya pendidikan digital untuk saling belajar. Orangtua juga perlu memahami dan mengajarkan pentingnya internet sehat bagi anak. Caranya dengan memberikan contoh dan teladan kepada anak dan dimulai dari diri sendiri. Dari sini sifat anak yang cenderung meniru orang di lingkungannya juga akan melakukan teladan yang baik pula.
“Dengan demikian, ketika menggunakan platform digital anak menjadi tidak gagap dalam berinteraksi, bijak menggunakan platform digital, dan bisa bertanggung jawab. Kita gali etika dan menerapkan nilai-nilai kehidupan berbudaya. Sebab, pada dasarnya nilai etika sudah kita pelajari sejak di rumah dan di sekolah. Tinggal bagaimana menerapkan dan menanamkannya saat di ruang digital,” pungkasnya.
Diskusi virtual yang dipandu oleh Dannys Citra (entertainer) ini juga diisi dua narasumber lainnya: Augustin Rina Herawati (dosen Undip) dan Diana Belinda (entrepreneur). Selain itu hadir juga Reni Risty (presenter) selaku key opinion leader.