Saat ini begitu mudahnya berita bohong tersebar dan membuat keresahan di suatu kelompok masyarakat dan berakhir dengan pertanyaan yang sama, kenapa berita bohong itu bisa cepat menyebar? Terlebih jika informasi itu bernada negatif. Misalnya tentang orang yang kita kenal, influencer, dan lainnya yang membuat kita merasa ada kedekatan.
“Sikap yang perlu kita utamakan setiap menerima informasi negatif dari media sosial adalah menelahnya secara hati-hati. Jangan bersikap impulsif, ikut tergerak untuk menyebarluaskan hanya demi ingin memanaskan situasi tanpa tahu kebenarannya,” kata Kaprodi Magister Informatika UAJY, Yonathan Dri Handarkho, saat menjadi pembicara dalam webinar literasi digital bertema “Masyarakat Inklusi dan Perundungan Anak” yang digelar Kementerian Kominfo untuk masyarakat Kabupaten Brebes, Jawa Tengah, Jumat (27/8/2021).
Yonathan mengimbau, jangan sampai masyarakat mudah percaya dengan berita palsu yang tak disertai sumber jelas di media sosial itu. Sebab, di era media sosial ini, orang-orang semakin mudah mendapatkan informasi sekaligus mudah untuk menyebarkannya.
“Salah satu dampak jika kita menelan mentah-mentah informasi di ruang digital adalah akan mendorong aksi cyberbullying pada pihak tertentu,” kata Yonathan. Menurutnya perundungan dunia maya dengan menggunakan teknologi digital ini dapat terjadi di media sosial, platform chatting, game, hingga smartphone. Perilaku cyberbullying ini, kata Yonathan, bisa berulang dan ditujukan untuk menakuti, membuat emosi, atau mempermalukan sasaran.
“Contohnya menyebarkan kebohongan tentang seseorang atau memposting foto memalukan tentang seseorang di media sosial,” ucap Yonathan. Contoh lain, lanjutnya, mengirim pesan atau ancaman yang menyakitkan melalui platform chatting, menuliskan kata-kata menyakitkan pada kolom komentar media sosial, atau memposting sesuatu yang memalukan/menyakitkan.
Pengiriman pesan yang mengancam atau menjengkelkan di jejaring sosial, ruang obrolan, atau game online juga disebut Yonathan sebagai contoh cyberbullying yang acap terjadi di ruang digital. “Dalam situasi ini, kita perlu menguatkan lagi keamanan digital atau digital safety berkaitan dengan aktivitas kita di dunia digital. Entah di medsos, marketplace, internet yang mengarah pada rekam jejak digital,” tegas Yonathan.
Yonathan berpesan, yang harus diingat publik adalah setiap tindakan dan respon kita di dunia digital bersifat menetap dan sulit dihapuskan. “Secara sadar atau tidak, setiap hari kita mungkin meninggalkan jejak di dunia maya melalui unggahan kita, komentar, situs laman dan media sosial yang kita kunjungi. Jadi, buatlah rekam jejak yang baik,” tuturnya.
Sementara, narasumber lain dalam webinar itu, dosen Ilmu Komunikasi UGM Gilang Desti Parahita mengungkapkan, untuk menggunakan internet secara sehat dengan anak dapat dilakukan dengan berbagai cara. ”Salah satunya, membuat kontrak tanggung jawab dengan anak. Sepakati durasi penggunaan ponsel atau gadget, tujuan penggunaan, dan imbangi dengan kewajiban pekerjaan rumah lainnya,” kata Gilang.
Selain itu, internet sehat dengan anak juga bisa dilakukan dengan cara mengenalkan penggunaan aplikasi positif di internet. Baik untuk pendidikan, hiburan, komersial, termasuk copyright.
Dimoderatori Bobby Aulia, webinar ini juga menghadirkan dua narasumber lain, yakni seperti Imam Gozali (Kasi Pendidikan Madrasah Kantor Kemenag Brebes) dan Ardiyansyah (IT Consultant) serta Reni Risty selaku key opinion leader.