Perkembangan pesat teknologi digital memungkinkan industri media menjadi ujung tombak kemajuan perekonomian. Digitalisasi yang menyentuh hampir seluruh aspek kehidupan itu pun memiliki pengaruh luas terhadap aspek budaya, terutama karena munculnya internet sebagai bentuk komunikasi massal dan tanpa batas.
”Tantangannya, media di sisi lain menjadikan manusia sekadar sebagai komoditas, sehingga terjadi situasi di mana masa depan masyarakat menjadi tidak menentu dan penuh ketidakpastian,” ujar Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten Cilacap Imam Tobroni saat menjadi narasumber webinar literasi digital bertema ”Menjadi Masyarakat Pancasila di Era Digital” yang digelar Kementerian Kominfo untuk masyarakat Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah, Kamis (26/8/2021).
Dalam paparannya, Imam mengatakan, kebudayaan kita kini sedang berada di tengah pusaran zaman ’post-truth’. Masyarakat yang semakin susah mengais kebenaran sejati, kecuali berondongan informasi yang jauh dari jejak fakta objektif. Lalu, banyak pengguna media digital yang memanfaatkan IT untuk hal-hal jahat seperti pencurian, perampokan, menebar kebencian, radikalisme, dan juga teror.
”Era digital telah menyeret kita kepada budaya pergaulan bebas, dekadensi moral, budaya individualistik, pragmatis, materialistik dan budaya instan. Akibatnya, melemahnya ikatan sosial masyarakat, budaya tolong-menolong, dan gotong-royong menjadi fenomena tak terbantahkan,” ungkap Imam.
Harapan terbesar atas situasi suram dan keterpurukan budaya yang dialami, lanjut Imam, kini hanya bisa dinyalakan kembali dengan cara membudayakan Pancasila dalam masyarakat digital. Artinya, kesadaran sebagai masyarakat Indonesia yang majemuk, multikulturalis namun demokratis harus terus dipupuk dan dikembangkan.
Menurut Imam, Pancasila menjadi dasar pemersatu (kalimatun sawa) dari keanekaragaman budaya dalam berbangsa dan bernegara. Prinsip dasar nilai-nilai dalam Pancasila yang berketuhanan, berkemanusiaan adil dan beradab, persatuan, kerakyatan dan permusyawaratan, dan berkeadilan sosial.
”Nilai ketuhanan menjadi urgen untuk menjadi inspirasi dari nilai-nilai yang lain. Lima nilai tersebut akan dapat mendorong semangat bertransformasi di era digital untuk berperadaban tinggi, sekaligus menjadi filter dari adanya konten-konten ujaran kebencian,” sebut Imam.
Selain itu, imbuhnya, konsep melestarikan sesuatu yang baik dan mengambil sesuatu yang lebih baik harus dibudayakan. Meski begitu, ada kemungkinan terjadinya benturan budaya antara sesuatu yang biasa terjadi dengan fenomena digital yang tidak terelakkan.
”Misalnya, antara budaya silaturahim secara langsung atau cukup menggunakan media digital. Antara pembelajaran online dan keinginan tatap muka maupun semakin tipisnya batasan benar dan salah, baik dan buruk,” jelas Imam.
Ditambahkan, peran dunia pendidikan dalam menanggapi perubahan ke arah digital ini merupakan sebuah peluang untuk meningkatkan kualitas. Selain itu, pendidikan juga dapat diarahkan untuk menghindari munculnya ujaran kebencian melalui pengembangan nilai Pancasila di dunia digital, serta mengembangkan budaya dan informasi yang bersifat mendidik kepada masyarakat luas.
”Pendidikan juga membangun jejaring untuk bisa memberikan pendidikan bagi masyarakat yang tidak punya akses, membangun kelompok-kelompok pembelajaran mandiri dalam sebuah komunitas digital, menciptakan peluang bagi budaya saling menerima, dan memberi sebagai bagian penting untuk empowering society,” pungkas Imam.
Berikutnya, anggota Komisi Kajian Ketatanegaraan MPR RI Nuzran Joher menambahkan, yang dimaksud dengan masyarakat Pancasila adalah masyarakat yang mempelajari, menghayati, dan mengamalkan Pancasila di kehidupan sehari-hari dalam bermasyarakat, bernegara, berbangsa dan berbudaya.
”Memahami konsep dasar nilai Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika adalah kunci agar mampu menginternalisasikannya dalam berbagai ruang, termasuk ruang digital,” kata Nuzran.
Diskusi vitual yang dipandu oleh moderator Nindy Gita itu juga menghadirkan narasumber Dahlia (dosen STAI Al Husain), Heru Prasetia (pegiat literasi digital), dan kreator konten Hibatun Hafiroh selaku key opinion leader.