Banyak orang menghabiskan waktu untuk bermain game sampai lupa makan, atau terus-menerus memeriksa setidaknya tiga akun media sosialnya maupun aplikasi percakapan setiap saat. Perilaku seperti itu bisa jadi menunjukkan orang tersebut sedang mengalami gejala internet addiction disorder alias gangguan kecanduan internet.
”Internet addiction disorder juga dikenal dengan problematic internet use (PIU), compulsive internet use (CIU) atau disorder, kondisi kecanduan ini mengubah pusat kesenangan otak,” kata pegiat literasi digital nasional Riant Nugroho saat menjadi narasumber webinar literasi digital bertema ”Kecanduan Digital: No, Kreatif dan Produktif: Yes” yang digelar Kementerian Kominfo untuk masyarakat Kabupaten Pemalang, Jawa Tengah, Kamis (19/8/2021).
Riant mengatakan, pada umumnya kecanduan mempunyai gejala di antaranya: keinginan yang terus meningkat akan suatu zat atau aktivitas, tidak dapat menjauh atau menghindari, tidak mampu mengendalikan diri, mengabaikan dampak buruk, ketika mengalami masalah atas zat atau aktivitas tadi cenderung menyalahkan orang lain, dan sulit memahami orang lain.
”Gejala lain: ultra sensitif; mudah cemas, sedih, dan depresi; bereaksi berlebihan ketika merasa stres; kehilangan minat pada aktivitas lain yang dilakukan sehari-hari; susah tidur; sulit untuk menjalin hubungan dengan orang lain dan menjalani pekerjaan,” ujar direktur Institute for Policy Studies itu di depan hampir 200 partisipan webinar.
Riant Nugroho mengatakan, ciri-ciri kecanduan digital bisa dilihat dari empat sisi, di antaranya: sisi kognisi (pikiran), sisi emosi (perasaan), sisi fisik (tubuh), dan sisi spiritual (keyakinan). Ciri adiksi dari sisi kognisi menganggap sesuatu harus dikembalikan ke referensi digital, di luar itu tidak benar atau harus dicek di internet sebelum dianggap benar.
”Ciri adiksi sisi kognisi lainnya, referensi dapat diterima hanya jika ditayangkan di internet. Kemudian, sesuatu gagasan adalah benar (bahkan baik) jika dibaca, disebut, dan dikutip banyak orang. Semakin banyak semakin benar,” urai Riant.
Ciri adiksi dari sisi emosi: merasa lebih baik ketika membuka situs kesukaan, merasa gelisah ketika jauh dari internet, mengabaikan orang di sekitar demi akses internet, kehilangan ketertarikan aktivitas di dunia nyata, mulai berbohong tentang apa saja yang dilakukan di internet, selalu berpikir soal internet saat tidak bisa menggunakannya, berbohong demi aktivitas online, lebih memilih online daripada tidur malam hari.
”Contoh dari ciri adiksi sisi emosi bisa dilihat pada perilaku Nomophobia (No mobile phone phobia), suatu kondisi psikologi ketika seseorang begitu takut terlepas dari konektivitas ponsel. Misalnya, 53 persen pengguna ponsel di Inggris khawatir kehilangan ponsel, kehabisan baterai atau pulsa dan akses jaringan,” sebut Riant, yang juga pakar kebijakan publik.
Sedangkan ciri adiksi dari sisi fisik, yakni mengalami perubahan bobot tubuh, sakit kepala, sakit punggung, sakit pergelangan tangan akibat terlalu lama memegang gadget. Berikutnya, ciri adiksi dari sisi spiritual yakni agamanya, adalah keyakinan yang disebarkan di media sosial atau situs digital yang diikutinya.
”Bahkan berani mempertanyakan secara keras dan konsisten kebenaran agama yang diajarkan selama ini kepada kebenaran agama yang diajarkan di media sosial atau situs digital yang diikutinya. Akhirnya, menciptakan ’agama baru’ dari ’ibadahnya kepada dunia digital’-nya,” tegas Riant.
Untuk mengatasi kecanduan digital, Riant menyarankan beberapa cara seperti mencegah (menyangkal), mengobati (menyelesaikan), dan menyebarluaskan (mempromosikan). ”Mengetahui, menyadari, dan mengakui jenis-jenis kecanduan digital akan membantu penyembuhan kecanduan digital,” pungkas alumni Departemen Ilmu Komunikasi UGM itu.
Berikutnya, berbicara dari perspektif digital culture, kepala MAN Pemalang Imam Shofwan berpendapat, budaya digital sebagai keniscayaan bagi pelajar, mahasiswa dan umum, karena mempermudah orang mendapatkan sumber belajar yang sangat memadai, detail dan mendalam. Budaya digital juga menjadi keniscayaan dalam pengembangan media pembelajaran yang murah dan mudah bagi guru dan dosen.
”Guru dan dosen bukan hanya bisa membuat media pembelajaran, tapi bisa membandingkan dan mendiskusikan dengan hasil media pembelajaran karya guru atau dosen lain, sehingga kualitas media yang dibuat menjadi media pembelajaran terbaik,” jelas Imam Shofwan.
Selain itu, lanjut Imam, budaya digital juga sangat membantu dunia usaha berkreasi mencapai produktivitas yang diinginkan maupun memperluas jaringan pemasaran. Budaya digital mampu memberikan ruang dan waktu yang cukup luas bagi manusia, sehingga pekerjaan akan lebih cepat diselesaikan.
”Jika kita sudah menyadari potensi budaya digital bagi peningkatan kreativitas dan produktivitas, maka hiburan dan game harus dianggap sebagai hiburan di tengah semangat memacu kreativitas dan produktivitas. Kemajuan dunia digital merupakan sebuah sunnatullah yang tak terelakkan. Ancaman dan tantangan digital akan diubah menjadi sebuah potensi literal untuk kemajuan. Sehingga teknologi digital bukan lagi menjadi candu, tapi justru menjadi pemicu tumbuhnya ide-ide kreatif dan produktif masyarakat kita. Pada tahapan inilah kita bisa mengatakan ’Kecanduan Digital No, Kreatif dan Produktif Yes’,” papar Imam, mengakhiri paparan.
Webinar yang dipandu oleh moderator Harry Perdana itu juga menghadirkan narasumber Tatty Aprilyana (penulis skenario), Amiroh (Kasi Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Kantor Kemenag Kabupaten Pemalang), dan Virginia Obed selaku key opinion leader.