Tak dimungkiri, hadirnya media sosial di dunia digital kini seolah menjadi ”negara baru” dengan warga negara yang tak sedikit. Betapa tidak, tahun 2020 dari 274,8 juta populasi warga nyata Indonesia, sudah disesaki dengan 61,4 persen sekitar 170-an juta warganet warga dunia maya yang aktif berseliweran dengan jutaan postingan di media sosial (medsos). Mereka aktif 3,5 s.d. 7,5 jam sehari dengan beragam aktivitas digitalnya. Kehidupan virtual yang hiruk-pikuk – kadang cuma bersifat noise, berisik dan ribut di dunia maya – namun memancing keributan hingga dunia nyata.
Edy Budiarso, Managing Director Indoplus Communication, mengatakan: sungguh serius dampak medsos di dunia nyata. Tahun 2016 misalnya, dari celoteh provokatif warga digital pada satu kasus, di mana ada seorang warga menegur suara azan di salah satu masjid di kota Tanjung Morawa, Deli Serdang, Sumatra Utara, sempat memicu ketidakharmonisan kampung antar dua agama berbeda.
Proses dialog yang dilakukan di dunia nyata sudah menuju ukhuwah dan solutif. Tapi info sesat di medsos justru kembali memicu kerusuhan massal. Hal serupa juga terjadi di beberapa kota di Indonesia. ”Provokasi cuitan warga medsos malah memantik ketenteraman toleransi yang sudah terjaga di dunia nyata. Ini perlu dikendalikan dan dirawat serius,” papar Edy saat berbicara dalam webinar literasi digital gelaran Kementerian Kominfo untuk masyarakat Kabupaten Tegal, 29 Juni lalu.
Karena dianggap merisaukan situasi sosial dalam masyarakat saat ini, pemerintah melalui Kementerian Agama merasa perlu membuat survei Indeks Toleransi dan Demokrasi di Masyarakat sebagai salah satu cara mengukur dampak aktivitas bermedia sosial dewasa ini. Kementerian Agama membuat survei Indeks Kota dan Kabupaten dengan Indeks Tolerasi untuk mengukur tingkat tolerasi yang baik se-Indonesia.
”Tentu, yang dijadikan patokan dalam indeks adalah sejauh mana pemerintah kota/kabupaten dan provinsi membuat regulasi dalam menata toleransi dan kehidupan demokrasi di sana. Bagaimana menjalankannya dan bagaimana respons masyarakat di wilayah tersebut,” rinci Edy.
Memang, sejak 2018, indeks toleransi masih bagus dengan rerata 7,35. Tahun 2019 naik 73,95 dan tahun 2020 masih di atas 7. Stabil. Untuk tahun 2020, provinsi yang paling toleran malah Papua Barat, dengan indeks nilai 80 dan terendah justru Aceh dengan poin 60. Sementara untuk kota/kabupaten, ranking satu Salatiga disusul Singkawang dan Manado sebagai kota paling toleran. ”Tidak disebut kota paling buruknya dalam hal toleransi, tapi tetap masih terjaga toleransinya,” papar Edy Budiarso dalam diskusi bertopik ”Media Sosial sebagai Sarana Meningkatkan Toleransi dan Demokrasi”, yang digelar daring dengan ratusan peserta lintas generasi dan profesi.
Edy Budiarso tampil dipandu moderator Fikri Hadil, juga ditemani pembahas topik lainnya: Ragil Triatmojo (Blogger dan SEU Specialist), M. Sekhun Ichrom (pemimpin umum Harian Radar Tegal), Yoshe Angela (fasilitator dari Kaizen Room), dan Poppy Sovia, aktris yang tampil sebagai key opinion leader.
Sekhun Ichrom mengatakan, yang penting dilakukan ke depan adalah menjaga agar iklim di dunia maya tetap stablil dan terjaga kesejukannya meski berjuta postingan berseliweran. Interaksi sosial warga dunia maya pun tetap berjalan untuk menciptakan kesejukan di media sosial.
Menurut Sekhum, di Tegal para kiai dan masyarakat muslim terbiasa bertabayyun, menjelaskan duduk persoalan kalau ada informasi yang salah tafsir. Mestinya, begitu juga dalam dunia medsos. Biasakan kita untuk saling bertabayyun kalau mendengar dan menerima informasi di dunia maya yang dirasa meragukan dan dikhawatirkan memicu keresahan masyarakat.
”Dengan tabayyun, maka segala kesesatan informasi bisa disejukkan dan nyaman buat semua warga medsos, baik di Tegal maupun seluruh Indonesia. Tidak gampang terpicu emosi dan amarahnya oleh info bohong yang menyesatkan,” pesan Sekhun Ichrom.
Apalagi, lanjut Sekhun, update situasi di Jawa Tengah pada akhir Juni 2021, dari 35 kabupaten/kota di Jawa Tengah sudah 25 kab/kota yang terpapar zona merah, sehingga Gubernur Ganjar Pranowo mengharuskan warga mengurangi kerumunan dan bekerja dari rumah (work from home). ”Budaya tabayyun di medsos menjadi semakin diperlukan dan ditradisikan di dalam pergaulan digital lintas warga, karena kesejukan di dunia maya tentu akan tercermin dalam dunia nyata,” kata Sekhun.
”Dan, kalau kesejukan bisa dipertahankan, semoga suasana tentram yang tercipta akan menambah imun warga dan membuat pandemi cepat berlalu dari Tegal dan Indonesia,” pungkas Sekhun.