Secara harafiah, hoaks adalah berita yang tidak benar dibuat seolah-olah menjadi berita benar. Dalam UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), Pasal 28 (1) disebutkan: ”Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam transaksi tlektronik.”
”Kata ’bohong’ dan ’menyesatkan’ memiliki arti berbeda. Bohong (sebab) adalah perbuatan di mana informasi yang disebarkan adalah informasi yang tidak benar. Menyesatkan adalah (dampak) yang ditimbulkan dari perbuatan menyebarkan berita bohong tersebut,” tutur dosen UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Waryani Fajar Riyanto, saat menjadi pembicara dalam webinar literasi digital bertajuk ”Strategi Menangkal Konten Hoax” yang digelar Kementerian Kominfo untuk masyarakat Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, Kamis (9/9/2021).
Menurut Fajar, berita hoaks mempunyai ciri yang menjadi elemennya menggunakan kalimat persuasif yang memaksa seperti: sebarkan!, viralkan!, dan sejenisnya; artikel penuh huruf dan tanda seru; merujuk pada kejadian dengan istilah seperti kemarin, dua hari yang lalu, seminggu yang lalu (tidak ada tanggal dan hari yang jelas); dan lebih merupakan opini seseorang, bukan fakta.
Elemen hoaks lainnya, terkesan menakut-nakuti atau menyesatkan penerima berita, meneror seseorang atau sekelompok orang agar merasa takut, provokatif dan cenderung mengadu domba, menghujat seseorang atau golongan, memuji secara berlebihan (lebay).
”Umumnya juga disertai kata-kata ’sebarkan sebanyak mungkin’, ’jangan hanya terputus di tangan Anda’. Sudah banyak yang tertipu, berhati-hatilah, baca pesan ini 5 menit pesan otomatis akan dihapus, terkadang juga ’menjual (mencatut) stasiun TV atau sumber terpercaya’ untuk mengelabui,” sebut Fajar di depan 320-an partisipan webinar.
Menghadapi berita hoaks secara personal, lanjut Fajar, di antaranya bisa dimulai dengan mengenali dari judulnya yang cenderung provokatif atau persuasif tapi memaksa, lalu mengelolanya dengan cara cek alamat situs maupun mampu membedakan antara fakta dan opini, dan yang terakhir memutus, caranya dengan hindari tren ikut-ikutan (cukup sampai di Anda saja), atau acuhkan, tegur, unfollow.
Fajar menegaskan, sesungguhnya pemerintah (secara institusional) telah berupaya mencegah dan memberantas hoaks melalui Kominfo. Upaya tersebut di antaranya dengan mengesahkan UU ITE, penegakan hukum (sanksi bagi penyebar hoaks), memblokir situs penyebar hoaks, bekerja sama dengan platform medsos & LSM, sosialisasi dan edukasi literasi digital, Gerakan Literasi Nasional (Kemendikbud), meminta fatwa MUI (Fatwa No. 24 Tahun 2017), bahkan membentuk Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN).
Namun, ungkap Fajar, bukannya menurun, produksi dan distribusi hoaks justru terus meningkat. Artinya, upaya penanganan informasi hoaks selama ini masih perlu diperkuat dan ditingkatkan lagi. Di samping itu, diperlukan terobosan baru untuk menemukan cara yang lebih efektif dan substantif (pendekatan substansial).
”Ibarat virus, upaya penegakan hukum itu antivirus yang sifatnya sementara. Sedangkan literasi digital dan informasi media adalah vaksin yang bersifat jangka panjang, dan membunuh virus hanya bisa dilakukan dengan pendekatan substansial,” jelas Fajar, menyamakan hoaks dengan virus.
Fajar menambahkan, dalam perspektif Spiritual Human Capital (SCH), kedua pendekatan (personal dan institutional) penanganan informasi hoaks selama ini belum menyentuh pada substansi persoalan yang sesungguhnya.
Sumber (akar) persoalan hoaks ada pada (sifat) manusianya. Sebab, pembuat, penerima, dan penyebar informasi hoaks adalah manusia (human), bukan perangkat digital otomatis. Sedangkan pikiran, sikap, dan perilaku manusia, sangat ditentukan oleh hatinya (spirit). Hati itulah yang memunculkan niat seseorang membuat dan atau menyebar hoaks.
”Berdasarkan ilustrasi di atas, upaya penanganan hoaks selama ini masih berkisar pada level 1 dan 2. Belum menyentuh level 3. Penyelesaian level 1 (personal) dan level 2 (institusional) adalah produk atau ciptaan manusia. Sedangkan sumber persoalan adalah manusianya. Bagaimana mungkin produk manusia bisa menyelesaikan persoalan manusia? Di sinilah posisi God-Spirit-Human-Technology (GSHT) Relations, yang menawarkan solusi penanganan hoaks secara substansial kepada manusianya (level 3),” jelas Fajar.
Berikutnya, narasumber pegiat kewirausahaan sosial Yuni Mustani meminta pengguna digital untuk mewaspadai adanya masalah gangguan informasi yang merebak di ruang digital. Banjir informasi yang terjadi pada era ini telah menyebabkan informasi yang salah dan menyesatkan bercampur dengan fakta yang benar, sehingga menyebabkan terjadi polusi informasi.
Jenis gangguan informasi itu, kata Yuni, di antaranya mis-informasi atau informasi yang tidak benar namun diyakini kebenarannya oleh penyebar informasi dan tak ada maksud membahayakan orang lain. Lalu, dis-informasi, yakni informasi yang tidak benar dan orang yang menyebarkan juga tahu bahwa informasi itu tidak benar, namun tetap menyebarkannya. Dan terkahir mal-informasi, berupa sepenggal informasi benar yang sengaja digunakan untuk merugikan orang atau kelompok lain.
”Jika dibuat diagram venn yang terdiri dari dua kelompok: kelompok pertama ’salah’ (mis-informasi) dan kelompok kedua ’niat merugikan’ (mal-informasi), maka dis-informasi ada pada irisan kedua kelompok tersebut,” terang Yuni yang juga pegiat pengembangan masyarakat dan pemuda itu.
Adapun terkait maraknya penyebaran berita hoaks, Yuni mengajak masyarakat untuk mampu berpikir kritis saat menerima informasi dengan berpedoman pada unsur berita 5W+1H: apakah pesan informasi itu fakta, siapa sumber beritanya, kapan kejadiannya (waktu berita dikeluarkan), di mana peristiwa itu terjadi, mengapa bisa terjadi (alasan logis), dan bagaimana itu terjadi.
”Selain itu, jika menerima informasi yang meragukan, bisa juga melakukan pengecekan ke situs berita arus utama, atau jika berupa foto, lakukan pengecekan ke google fact check tool. Dan jika ternyata informasi itu keliru (hoaks), delete aja!” pungkas Yuni Mustani.
Diskusi virtual yang dipandu oleh moderator Bobby Aulia itu juga menghadirkan narasumber Buchori Muslim (Kabid Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan Islam Kanwil Kemenag DIY), Sri Gunarti Sabdaningrum (Pembimas Kristen Kanwil Kemenag DIY), dan Venabella Arin (Duta Wisata DIY) selaku key opinion leader.