Jumat, November 15, 2024

Tingkatkan skill, agar kesenjangan akses digital perempuan dan laki-laki setara

Must read

’Wanita dijajah pria sejak duluu…’ Syair lagu jadul tersebut, dalam realitas transformasi digital saat ini, ternyata masih terjadi. Data dari Kominfo 2020, yang dikutip konselor perempuan dan anak Budi Wulandari ketika mengupas angka kesenjangan akses digital antara perempuan dan laki-laki, memang menunjukkan itu.

Data Kominfo menyebut, akses digital perempuan masih di angka 26 persen, sedangkan laki-laki sudah 74 persen. ”Ini menunjukkan kondisi yang belum setara dan perlu segera diperbaiki, baik soal stereotype maupun infrakstruktur digitalnya yang belum berpihak pada perempuan,” ujar Budi Wulandari. Mengapa keberpihakan gender penting untuk secepatnya diperbaiki?

Menurut Budi, selama masa pandemi, di bidang pendidikan saja misalnya, peran ibu tampak lebih dekat ke anak-anak yang mesti terlibat proses belajar di rumah secara online. Karena itu, kemampuan dan kecakapan digital perempuan, khususnya ibu, mendesak untuk segera ditingkatkan.

”Seraya berharap kelompok milenial ikut mengajari dalam meningkatkan kecakapan digital perempuan, kerja kolaboratif itu mesti secepatnya diwujudkan di lingkungan terkecil, keluarga,” tutur Budi, saat memantik diskusi dalam webinar literasi digital yang diselenggarakan Kementerian Kominfo untuk warga Kabupaten Sragen, 30 Juni 2021 lalu.

Budi Wulandari menambahkan, pandemi memang telah mengubah banyak aktivitas domestik di keluarga Indonesia. Perempuan yang secara stereotype sejak dulu dinilai lemah dan berbeda dengan pria, justru banyak yang dipaksa berperan ganda atau malah multitask. Banyak yang harus bekerja dari rumah (works from home), mengubah dan memindahkan kegiatan kantor ke rumah, namun juga masih melakukan kerja domestik: memasak, mencuci dan aktivitas perempuan lain. Dan kini, ditambah lagi dengan membantu anak belajar di rumah.

”Kami pernah menyurvei 172 perempuan terkait kecakapan digital perempuan di masa pandemi. Hanya 50 persen yang bisa dikatakan ekspert dan bisa mengatasi masalah digital di rumah, bisa mengerjakan aktivitas kantor dan membantu anak di rumah. Yang separonya, masih butuh dibantu kemampuan kecakapan digitalnya. Jadi, stop stereotype ibu rumah tangga. Realitas sekarang, ponselnya smart tapi orangnya masih stupid,” ujar Budi.

Budi Wulandari memaparkan realitas itu dalam webinar yang mengusung topik ”Menyikapi Kesenjangan Digital Antar-Gender dan Kelas Sosial”. Dipandu moderator Ayu Perwari, ada tiga pembicara lain yang ikut tampil, yakni: Ali Rochmat (dosen STAI Al Husein Magelang), Prasidono Listiaji (pemred agendaindonesia.com, konsultan manajemen media), dan Puji F. Susanti (womenpreneur yang juga fasilitator Kaizen Room). Selain itu, ada Gina Sinaga, public speaker dan founder @welless_ worthy, yang tampil sebagai key opinion leader.

Webinar diikuti 1.133 peserta dari seantero Kabupaten Sragen saat dicatat Prasidono Listiaji sewaktu memaparkan materi bahasannya. Prasidono, akrab disapa Inod, melihat di era digital sekarang situasinya justru bikin kaum perempuan dan juga kelompok rentan ”ngeri-ngeri sedap”. Sedapnya, kalau dulu pengin makan enak, walau punya duit, tetap mesti capek masak dulu. Sekarang tinggal pencet, pesen GoFood atau GrabFood di Solo atau Sragen, gudeg ceker, es teler dan segala masakan masakan akan diantar ke rumah.

Mau belanja segala kebutuhan keluarga, tinggal pesan online di e-commerce atau toko online, barangnya datang dengan bonus cash back atau diskon. ”Meski begitu, ibu-ibu ke depan tetap harus makin cakap digital, agar tidak menjadi korban kejahatan digital yang ngeri-ngeri itu,” papar Inod. Apa yang perlu diubah dari perilaku ibu-ibu di rumah terkait potensi menjadi korban cyber-crime?

Jurnalis senior itu memberi contoh. Di antaranya, jangan sembarangan membuang fotokopi kartu keluarga atau fotokopi billing statement bank. Sebab, sering ditemukan surat berisi banyak data pribadi dibuang sembarang atau diloak hingga jadi bungkus kacang atau gorengan. 

”Pastikan kertas data itu dirobek hancur sebelum dibuang ke tong sampah. Kalau jatuh ke orang yang kecakapan digitalnya canggih, data itu bisa jadi bahan untuk menguras isi rekening bank kita di lain waktu. Jadi, dunia digital memang masih sedap-sedap ngeri. Hati-hati keluarga digital Indonesia,” pesan Inod serius.

Selain perempuan, menjaga kesetaraan kaum di kelas rentan, khususnya kaum miskin dan pemulung, juga mesti ditimbang matang. Kesetaraan tetap harus dihormati. Narasumber Gina Sinaga melihat, masih banyak kreator konten atau kelas masyarakat mampu yang mengeksploitasi kaum rentan itu.

”Kalau memang diniatkan charity, berbagi sedekah, itu bagus. Tapi kalau penyerahannya mesti divideo, apalagi kemudian diposting di medsos, sebaiknya wajah mereka diburamkan, diedit. Hargai hak privat mereka,” ujarnya.

Menurut Gina, kaum rentan adalah juga manusia yang berhatinurani dan memiliki hak privat. So? ”Stop mengekspose kaum rentan di medsos. Ayo kita jaga harmoni yang setara sesama warga negara, apa pun kelas sosialnya. Ingat, jejak digital yang sudah diekspose, diposting di dunia maya, tidak bisa dihapus lagi,” kata Gina, memungkas diskusi.

- Advertisement -

More articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -

Latest article